Jadi ingat masa kanak-kanak dahulu. Kita meniru apapun dari orang-orang disekitar kita. Cara bicara, cara makan, cara berjalan. Nyaris semuanya. Karena memang cara belajar anak memang begitu. Katanya masa kanak-kanak menjadi masa yang rawan untuk perkembangan usia selanjutnya. Karena sekali dia berada ditempat yang tidak baik, tidak mendukung perkembangannya, tidak kondusif, maka ia juga tak akan tumbuh dengan baik. Pembentukan karakter dimulai dari masa ini kan? Anak yang terbiasa berada di lingkungan yang menganggap biasa kekerasan, maka dia akan tumbuh menjadi anak yang kasar pula. Karena beginilah hidup, lingkungan punya peran sangat besar dalam membangun karakter anak.
Sekarang, saat sudah besar, menjadi manusia berkepala dua ternyata juga masih perlu sosok yang perlu ditiru. Mari kita sebut "teladan". Kita perlu memilikinya, perlu terinspirasi karenanya. Karena dengan begitu kita akan punya amunisi semangat lebih untuk terus memperjuangkan apa yang kita inginkan.
Namun sepertinya keadaan tak selalu berpihak pada kita. Betapa sering kita kecewa dengan sosok yang pernah kita idolakan, yang pernah kita teladani, namun sebenarnya dia tak sebaik itu. Semuanya hanya topeng yang ia gunakan untuk berbagai tujuan. Betapa sering kita melihat, mendengar, atau menghadapi langsung, seseorang yang seharusnya memberi teladan malah melakukan hal-hal tak pantas.
Baik, mari sederhanakan pembahasan ini. Dikehidupan ini semua orang dewasa memang seharusnya menjadi teladan bagi orang yang lebih muda disekitarnya. Namun rasanya sulit untuk mewujudkan hal itu. Dunia tak hanya diisi dengan orang baik kan? Selain orang tua-yang memang menjadi teladan utama anak-anak- ada profesi-profesi tertentu yang tugas utamanya adalah memberikan keteladanan. Let say, seorang pendidik.
Apa jadinya jika pendidik tak bisa memberikan keteladanan bagi muridnya? Kita semua pasti tahu jawabannya. Saya pikir inilah salah satu sebab pendidikan kita masih begini-begini saja.
Betapa kecewanya ketika pendidik melarang kita mencontek saat ujian, namun akhirnya kita mendengar ia korupsi dalam pengadaan proyek sekolah? Betapa kecewanya ketika sang pendidik bilang kita harus taat beribadah tapi kita menemukannya tak beribadah disuatu waktu? Dan betapa kecewanya lagi ketika kita dinasehati bahwa menipu itu jahat namun kita sendiri menemukan diri ditipu olehnya?
Itu hanya sebagian contoh saja. Diluar sana saya yakin ada kasus-kasus yang lebih mengerikan lagi. Namun demikian, dari pada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin bukan?
Maka dari pada lelah mencari keteladanan, maka lebih baik menciptakan keteladanan itu sendiri.
Mungkin akan lebih bijak lagi jika kita mau untuk tak memukul rata kepribadian seseorang. Setiap orang punya sisi baik dan buruk dengan porsi masing-masing kan? Meski tak mudah untuk kita yang pernah dikecewakan, meneladani yang baik darinya dan memaafkan yang buruk darinya dapat menjadi pilihan terbaik yang bisa diambil.
Akhirnya, saya tetap yakin dan percaya, meski tak banyak, orang baik akan tetap selalu ada.
Semarang, 13 Agustus 2016
0 komentar:
Posting Komentar