Muslimdaily.net- Akuntansi merupakan seni dalam mencatat transaksi yang terjadi dalam suatu perusahaan atau organisasi. Ilmu pengetahuan modern menyatakan bahwa akuntansi dimulai oleh seorang cendekiawan asal Genoa, Italia yang bernama Lucas Pacioli (1445-1517). Ia pada waktu itu telah menulis buku berjudul “Summa de Arithmetica Geometria, Proportioni et Proportionalita”. Buku ini menjelaskan tentang sistem pencatatan berpasangan yang baru dikenal pada saat itu. Perlu diketahui, Lucas Pacioli adalah seorang pastur dari Fransiskus dan kini terkenal sebagai Bapak Akuntansi.
Jika kita kaji di dalam sejarah Islam, sebenarnya pada awal pertumbuhannya sudah ada sistem akuntansi. Hal ini dapat kita simpulkan dari adanya kegiatan kafilah atau pedagang. Tepatnya pada tahun 622 M terbukti beberapa sistem pencatatan perdagangan telah berkembang di Madinah, dan pada zaman pemerintahan Abbasiyah 750 M telah dikembangkan lebih sempurna diantaranya Al Jaridah Annafakat (Jurnal Pengeluaran atau Expenditure Journal), Jaridah al-Mal (Jurnal penerimaan dana untuk Baitul Mal) dan lain-lain.
Menurut sejarahnya, kegiatan perdagangan ini pun sudah ada pemisahan antara pemilik dengan pedagang (manajer) seperti kisah Muhammad (sebagai pedagang, agen) dengan Khadijah (sebagai pemilik). Kemudian, keberadaan ini dapat juga dilihat dari adanya perintah dalam Al quran yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yang memerintahkan dibuatnya pencatatan transaksi-transaksi yang belum tuntas seperti adanya utang piutang. Sayangnya literatur belum banyak menganalisa bagaimana bentuk eksistensi akuntansi pada zaman ini(lebih kurang 570 Masehi). Dalam literatur akuntansi, ternyata yang jadi asal mula akuntansi selalu disebut di Eropa.
Padahal jauh sebelum Eropa, Al-Qur’an telah memerintahkan akuntansi dengan ayat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 282, yaitu: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika bukan dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan kamu. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah (dan jangan juga yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis). Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kamu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Asbabun Nuzul ayat ini berkenaan dengan saat Rasulullah saw datang ke Madinah pertama kali orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua, atau tiga tahun. Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menyewakan (menghutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam waktu yang tertentu pula”. Sehubungan dengan itu Allah swt menurunkan ayat ke 282 sebagai perintah apabila mereka utang-piutang maupun mu’amalah dalam waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjadinya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang. (HR. Bukhari).
Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam Al Qur’an dan berbicara soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfak (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar utangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu (ayat 280).
Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis utang piutang setelah anjuran dan larangan diatas mengandung makna tersendiri. Anjuran bersedekah dan melakukan infak di jalan Allah perupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, sehingga dengan perintah menulis utang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba. Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah dapat menimbulkan kesan bahwa Al Qur’an tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini yang intinya memerintahkan untuk memelihara harta dengan menulis utang piutang, walau sedikit, serta mempersaksikannya.
Penggalan ayat-ayat ini menasehati setiap orang yang melakukan transaksi utang-piutang untuk mengadakan pencatatan yang mengandung pernyataan untuk waktu yang ditentukan. Ini bukan saja mengisyaratkan bahwa ketika berutang masa pelunasannya harus ditentukan. Bukan dengan berkata “saya bayar hutangnya ketika saya memperoleh rezeki”, atau kalimat lain yang serupa yang mengisyaratkan keadaan yang tidak pasti. Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus harga diri, karena itu, agama tidak menganjurkan seseorang berutang kecuali jika sangat terpaksa. “Utang adalah kehinaan di siang dan keresahan di malam hari”. Demikian sabda Rasul saw. Beliau juga bersabda, “Penangguhan pembayaran utang oleh yang mampu adalah penganiayaan” (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah menulis utang-piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban.
Demikian praktik para sahabat Nabi ketika itu, demikian juga yang terbaca pada ayat berikut. Memang, sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis utang-piutang bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian, ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis-menulis karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan pinjaman dan meminjamkan. Itu diisyaratkan oleh penggunaan kata (اذا) idza/apabila pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepastian akan terjadinya sesuatu.
Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya, jika mitra pandai tulis baca, dan bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, mereka hendaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat. Selanjutnya, Allah swt. menegaskan: Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak merugikan salah satu pihak. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian, dan kejujuran.
Terkait dengan akuntansi, yang dimaksud dengan kemampuan menulis secara profesional adalah seorang akuntan yang bertugas mencatat segala transaksi yang terjadi disebuah perusahaan sesuai dengan PSAK (Pernyataan standart akuntansi keuangan). Akuntan merupakan sarjana akuntansi yang telah memperoleh sertifikat profesi akuntansi. Ayat ini mendahulukan penyebutan adil dan diantara kamu daripada penyebutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini dikarenakan keadilan, disamping menuntut adanya pengetahan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tapi tidak adil, ketika itu, pengetahuannya akan dia gunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan mengindari sanksi.
Selanjutnya, kepada para penulis diingatkan agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab diatas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai kemampuannya. Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran, ia akan menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu dan pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan.
Maka jelaslah sudah betapa pentingnya pencatatan (akuntansi) dalam kegiatan muamalah. Harapannya, keadilan dan kejujuran terus bisa ditegakkan dalam kegiatan ini agar kesejahteraan bersama dapat tercapai.
Referensi:
Kismawadi. 2012. “Tafsir Al-Baqarah 282 (Akuntansi Syariah).
http://kismawadi.blogspot.co.id/2012/06/pendahuluanal-quran-merupakan-petunjuk.html
*Mahasiswi Pendidikan Ekonomi Akuntansi di Universitas Negeri Semarang
0 komentar:
Posting Komentar