BENING- Cerpen PENA (Pendidikan Akuntansi A 2014)

by 05.17 4 komentar
Ruang kuliah sudah penuh sesak oleh mahasiswa pertanda jam kuliah sudah dekat. Benar saja, belum sampai Bening menemukan kursi kosong, dosen favorit mahasiswa ini masuk. Kursi kosong yang masih tersisa hanya ada di deretan paling belakang. Tentu saja. Tak ada yang mau melewatkan deretan depan untuk kuliah ini. Pendidikan Lingkungan Hidup. Bukan karena mata kuliahnya yang mengasyikkan, tapi dosennya yang kerennya kebangetan bagi nyaris seluruh mahasiswi. Ya, nyaris. Karena memang ada satu orang mahasiswi yang sama sekali tak tertarik pada dosen ini. Bening. Ia justeru risih melihat teman-temannya keganjenan sama sang dosen keren. Jadi ia santai saja dapat tempat duduk dibelakang.
pic:yoyahijab.com
Hari ini sang dosen keren membahas mengenai kelestarian hutan di Indonesia yang semakin tak terjaga. Ternyata perkembangan virus flu burung yang sempat marak di Indonesia tidak lepas dari deforestasi yang tinggi di negeri ini. Karena sebenarnya jumlah mikroba yang hidup di alam seimbang dengan ekosistemnya sehingga tidak sempat menyerang manusia. Manusialah yang merusak ekologi mikroba tersebut. Hasilnya, keseimbangan hidup mikroba berubah. Dan perubahan ini menyebabkan mikroba mengalami transformasi dalam kehidupannya. Mikroba transformatif inilah yang akhirnya menyerang manusia.
“Seperti kita tahu, flu burung yang menular lewat pernafasan. Berdasarkan penelitian, penyebab penyakit itu adalah polusi udara dan penebangan hutan yang sewenang-wenang. Sedangkan oksigen terbesar berasal dari hutan. Jika hutan rusak maka suplai oksigen berkurang. Dampaknya luar biasa: mikroba akan tumbuh subur dan perkembangbiakannya tak terkendali. Sebab, oksigen- yang bila terkena sinar ultraviolet dari matahari berubah menjadi ozon (O3) dan O nascend- adalah pembunuh mikroba dan virus yang amat efektif. Bila oksigen berkurang, pembunuh mikroba dan virus pun berkurang, hingga muncullah varian baru virus flu burung HxNy dimana yang dahulu sempat menyerang adalah varian H5N1”. Penjelasan dosen keren itu sempurna memukau mahasiswi. Bukan karena mereka tertarik materinya, sekali lagi, karena kharisma sang dosen.
Bening menyimak penjelasan tanpa berkedip. Bukan karena ia menyadari kalau dosen itu memang keren seperti yang telah dilakukan teman-temannya. Namun ia teringat pada almarhumah ibunya yang meninggal karena virus ini. Ternyata ini ada hubungannya dengan aktivitas penebangan pohon yang ada selama bertahun-tahun dihutan pinggir kampungnya dahulu.
Dosen keren itu menyelipkan jokes-jokes yang sukses membuat seisi kelas tertawa kecuali Bening. Ia sibuk dalam ingatan masa lalunya. Andai saja hutan dikampungnya dulu tak ditebangi, andai saja orang-orang kota itu tak datang, dan andai saja tak ada oknum pemerintah yang enteng saja menjual hutan kampungnya demi segepok rupiah, pasti ibu dan ayahnya masih ada hingga saat ini.
Bening menghela nafas pajang sambil memperbaiki posisi duduknya. Matanya menerawang. Sementara mahasiswa lain di kelas itu masih terlibat diskusi yang sebenarnya lebih banyak yang cari perhatiannya dari pada memikirkan argumen yang berkualitas. Bening tak tertarik masuk kedalamnya. Fakta yang barusan ia dengar cukup membuat sakit hati itu terasa kembali. Ia belum tahu, bahwa luka itu akan sempurna menganga kembali beberapa saat kemudian.
***
Bening banguuuun!!
Emak berteriak dari dapur ditengah kesibukannya menyiapkan sarapan. Tanpa diperintah Tulus meringsek kekamar kakaknya dan langsung menjatuhkan diri ke badan kakaknya yang masih berselimut.
Bening mengaduh.
“Ayo kak bangun, atau emak akan menyiram kakak dengan air satu ember” bisik Tulus ditelinga Bening.
Bening hanya bisa pasang muka kesal sembari mendorong adiknya turun dari tempat tidur. Adiknya mengaduh dan Bening sama sekali tak peduli.
“Apakah tidak ada kompensasi untuk bangun siang di hari libur seperti ini?” Bening bangkit dengan mengerutu. Ia melipat selimut dan pergi ke kamar mandi. Tentu saja harus melewati dapur dengan bonus omelan emak karena telat bangun.
“Hari ini kau ikut emak mencari Kejibeling dihutan untuk obat Yu Darmi. Adikmu biar main saja di lapangan!” Perintah Emak pada Bening ketika ia keluar dari kamar mandi. Yu Darmi adalah tetangga dekat kami. Sudah lama ia sakit. Hidup disini sudah terbiasa begitu, saling tolong menolong.
Bening menjawab malas, “Iya Mak”. Tak ada yang bisa mengelak perintah Emak dirumah ini kecuali Bapak.
Seusai sarapan Bening meninggalkan rumah bersama Emak. Mereka mencari kejibeling sebagai bahan obat batu ginjal untuk tetangganya. Mereka melewati jalan setapak menuju hutan. Ini bukan kali pertama Bening ke hutan.  Ia nyaris hafal jalan di hutan. Dari umur lima tahun ia sudah diajak emak pergi ke hutan mencari rempah yang tumbuh liar untuk dijual atau pun dibuat jamu. Emak pandai sekali membuat jamu. Tak jarang tetangga meminta emak membuatkan jamu untuk keluarganya yang sakit. Seperti kali ini, emak akan membuat jamu untuk untuk Yu Darmi
Tinggal menuruni jalan setapak berbatu yang cukup curam untuk sampai kehutan. Ditengah hangatnya matahari pagi, nyanyian burung, dan suara aliran sungai, seharusnya tempat ini menyajikan keindahan dan ketenangan tak terkira. Namun nyatanya tak selalu begitu. Bening dan Emak masih berdiri ditempat yang tinggi ini. Hampir di puncak bukit, tinggal satu kali naik lagi. Mereka berdua mematung ditengah barisaan rumput liar yang tak rapi. Bening menyingkirkan sesuatu yang bergerak dikakinya, untuk kemudian kembali menatap pemandangan dibawah sana.
Dari sini, terlihat jelas aktivitas menyedihkan itu. Penebangan kayu yang semakin hari semakin rajin saja. Ya, setiap hari banyak orang kota yang datang ke hutan untuk menebang pohon. Orang-orang kampung tak bisa berbuat apa-apa. Apalah daya orang-orang kampung yang rata-rata berpendidikan SD ini jika dibandingkan orang-orang kota yang katanya berpendidikan itu, tapi bersikap seolah tak pernah dididik. Mereka terus saja merusak hutan.
Bening dan Emak sibuk dalam pikiran masing-masing. Emak hanya mengakhiri kediaman mereka dengan memberitahu Bening kalau hari ini ada pertemuan tetua kampung untuk membahas masalah penebangan pohon yang semakin parah. Bapak pasti ikut disana.
Selepas mengambil beberapa daun kejibeling, Emak mengajak untuk bergegas.  Kembali Bening mematung di tempat yang tadi saat perjalanan pulang. Emak melotot, tanda untuk bergegas.
Mereka berpapasan dengan banyak bapak-bapak yang pulang dari rapat kampung beberapa saat kemudian. Wajah-wajah itu menyimpan kesedihan dan kemarahan mendalam. Entah apa hasil keputusannya, Bening berniat menanyakan ke bapak nanti.
 “Bagaimana Pak hasil rapat tadi?” Bening langusng menghampiri Bapaknya yang sedang memperbaiki sepeda didepan rumah.
Bapak tak mau menjawab pertanyaan itu. Dia bilang ini urusan orang tua. Meskipun sudah remaja, bagi bapak Bening tetaplah putri kecilnya yang belum saatnya memikirkan masalah kampung. Dan Bening, tentu saja tak dapat memaksa Bapaknya.
Esok harinya, pagi-pagi sekali Bapak sudah keluar rumah. Emak hanya bilang Bapak dan tetua kampung ingin bersiap menemui orang-orang kota yang suka menebang pohon itu. Bening berangkat sekolah seperti biasanya. Sekolah yang berada di kampung sebelah itu dijangkaunya dengan berjalan kaki dua puluh menit saja. Ini tahun terakhir Bening di SMP.
Hingga Bening pulang sekolah, bapak tak kunjung pulang. Entah apa yang dikerjakan bapak di hutan. Emak juga tak ada. Hanya Tulus yang menyambut dirumah. Ia sudah pulang lebih dahulu dari SD.
“Emak ke pasar ya? Bapak belum pulang?”
“Emak ke rumah kakek Kak, Bapak juga belum pulang sejak tadi.”
Belum sempat Bening meletakkan tas, ada orang yang mengetuk pintu memanggil-mangil nama Emak. Bening membuka pintu. Ternyata tak hanya satu orang, ada banyak orang yang mendatangi rumahnya. Tapi bukan itu yang membuatnya kaget, melainkan ayahnya yang digotong. Bening histeris memanggil Bapak.
“Bapaaaaak!!
Semula Bening mengira bahwa bapak pingsan. Namun ternyata tidak. Tubuh bapak sudah dingin. Nadinya tak berdenyut lagi. Bening menangis histeris mengetahui bapak telah tiada. Tak lama kemudian Emak datang dengan berurai air mata. Emak histeris dan memeluk bapak lama sekali hingga tetangga membimbing Emak melepaskan jenazah bapak untuk dimandikan.  Bening memeluk Tulus yang sedari tadi tak berhenti menangis dipojok ruangan berukuran 4x4 meter itu. Akhirnya tulang punggung keluarga ini tiada.
Sebulan berlalu sepeninggal bapak, keluarga ini masih dirundung duka. Emak berusaha bangkit meski kadang masih jelas terlihat raut kesedihan diwajahnya. Kini hanya Emak saja yang menghidupi keluarga ini. Emak banting tulang setiap hari mengurus ladang dan berjualan dipasar demi anak-anaknya bisa makan dan sekolah.
Diluar sana, penebangan hutan semakin menggila. Sekarang hanya setengah bagian hutan kampung yang tersisa. Bening mulai mempertanyakan hal ini pada Emak ketika mereka beristirahat ditepi sungai setelah mengurus ladang. Akhirnya, Emak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak.
Bapak ditembak oleh bos orang-orang yang menebangi pohon itu karena bapak dianggap sebagai provokator untuk melawan mereka. Setelah kejadian itu pun warga sudah lapor ke polisi, namun apadaya, tak ada bukti yang kuat bahwa bos itu menembak bapak dan entah mengapa polisi cepat-cepat menutup kasus itu. Emak menangis tertahan disela-sela ceritanya. Bening memeluk emak dengan perasaan yang ia sendiri tak dapat mendefinisikannya.
Kini tak ada yang berani melawan penebangan pohon itu lagi. Entah bagaimana nanti jika hutan ini benar-benar habis. Padahal hutan adalah tumpuan warga kampung. Pekerjaan mereka ada disana, mulai dari mencari rempah, berburu sarang madu, kayu bakar, dan banyak lagi lainnya. Hewan-hewan hutanpun terancam kehilangan tempat tinggal. Tak heran, akhir-akhir ini banyak monyet yang masuk ke kampung mencari makan. Monyet-monyet itu masih liar hingga membuat warga takut.
Kesedihan kampung semakin hari bukan semakin selesai, malah bertambah banyak. Beberapa hari belakangan unggas milik warga kampung banyak yang mati mendadak. Ayam milik Emak yang jumlahnya tak seberapa pun juga mati. Entah apa yang terjadi. Emak jatuh sakit tak lama setelah itu. Badannya panas. Emak lemas sekali. Batuk dan hidung berlendir  tak berkesudahan. Emak juga mimisan dan muntah, sehari lebih dari tiga kali. Emak tak mengeluh sama sekali meski aku tahu, kepala emak sakit dan emak juga sesak napas.
Bening panik disuatu malam ketika Emak tak henti mimisan. Dia segera meminta tolong tetangga untuk membawa emak ke puskesmas. Tulus tak berheti menangis hingga  sampai di puskesmas. Dokter juga belum bisa menjelaskan emak sakit apa, yang jelas semakin hari semakin parah. Hingga seminggu kemudian dokter baru memberi tahu bahwa Emak terkena virus H5N1 atau yang dikenal flu burung. Bening terkejut bukan main. Bening pernah mendengar virus ini dari televisi. Memang akhir-akhir ini ada virus baru yaitu flu burung yang katanya mematikan.
Dokter menyarankan agar merujuk Emak ke rumah sakit dikota yang peralatannya lebih lengkap. Bening menurut. Untung saja Emak punya kartu jaminan kesehatan sehingga biaya berobat tidak tinggi. Besok rencananya Bening akan membawa Emak ke kota.
Matahari sudah hampir tenggelam ketika Bening masuk ke ruang perawatan Emak. Diluar sana hujan masih enggan untuk berhenti. Ia merasa aneh, Emak masih belum bangun sejak siang.
“Emak bangun Mak,” Bening mengguncangkan tubuh Emak. Namun rupanya yang dipanggil-panggil tak kunjung membuka matanya. Bening mulai panik. Ia berseru memanggil dokter.
Dengan tergopoh-gopoh dokter menuju bilik ukuran 2x2 meter itu. Memeriksa sebentar. Sang dokter kemudian balik badan dan memegang tagan Bening. Mengatakan dengan hati-hati bahwa Emak telah tiada.
Bening terdiam. Ia memalingkan pandangan pada Tulus yang masih tidur dikursi panjang, entah bagaimana ia akan menjelaskan padanya nanti.
***
Senja sudah menjelang. Kawanan burung pipit sudah mulai berbondong-bondong kembali kesarangnya. Perutnya sudah kenyang mencari makan. Matahari masih menyisakan sinar lembut diluar sana. Senja yang sempurna untuk jogging keliling kampus atau sekadar jalan-jalan mencari kudapan dilapak-lapak sepanjang jalan yang mendadak berubah seperti pasar.  Kesibukan sore mahasiswa sudah dimulai diluar sana, tapi kuliah ini belum juga usai. Bening mulai resah. Ia ada janji lain. Janji bertemu dengan seseorang yang sangat ia harapkan.
Sepuluh menit kemudian ia sudah lari menuju taman kampus. Seseorang telah menunggunya disana. Mungkin sudah lama. Harusnya memang sejak dua puluh menit yang lalu ia sudah disini.
“Maaf, udah lama nunggu ya?” Bening duduk didepan seseorang itu. “Kuliahku molor tadi, dosennya keasyikan ngomong sampe lupa waktu.”
No problem Bening, aku baru aja kok disini” Mau udah nunggu berjam-jam juga pasti bilangnya baru aja.
Mereka mulai pembicaraan. Diselingi dengan candaan khas anak muda. Senja yang sempurna. Bukan hanya karena cuacanya, namun karena pertemuan Bening dengan seseorang yang sepertinya spesial itu.
“Jadi kamu mau kemana Kak setelah wisuda?” Bening mengambil foto-foto wisuda ditangan orang didepannya.”
“Ke hatimu,” Jawabnya singkat.
Bening tertawa mendengar alegori basi itu. Obrolan mereka tertahan gerimis yang mulai turun. Mereka memutuskan meninggalkan tempat itu menuju sebuah kedai kopi di kawasan kampus. Kedai itu belum ramai oleh anak-anak kekinian yang hobinya nongki setiap malam. Bening memilih tempat duduk paling depan. Biar bisa menikmati gerimis katanya. Ia memesan coklat panas, sementara seseorang didepannya memesan cappucino.
Mereka asyik ngobrol ketika ada seorang laki-laki di tempat fotocopy sebelah yang memanggil “Dirga!”
Yang dipanggil menyahut dan segera permisi untuk menemui laki-laki itu. Kawan lama rupanya. Saat itulah HP Dirga berdering. Bening melirik sekilas dan tanpa pikir panjang mengangkatnya.
“Halo Pa? ini Bening, Kak Dirga lagi ngobrol didepan sama temennya. Kita masih dikampus nih Pa.”
“Ohh oke Bening, Papa hanya mau bilang malam ini tidak pulang. Tolong ingatkan Dirga mengambil mobil papa di bengkel besok pagi. Soalnya siang mau dipakai. Gitu ya, jangan pulang malam-malam kalian. Bye” Klik. Telepon ditutup tanpa sempat Bening menyahut.
Dirga kembali ke meja mereka setelah itu. Bening langsung menceritakan apa yang baru saja terjadi.
“Papa tuh emang dasar ya! pasti eksekusi dipinggiran Jawa Timur itu jadi deh. Sampai kapan coba papa melakukan ini.”
“Eksekusi apa?”
“Loh kamu nggak tau? hutan Dek.
Ilegalloging?”
“Yah, something like that, Papa tuh nggak pernah kapok. Padahal udah sampe ada yang meninggal gara-gara papa keras kepala.”
“Meninggal?”
“Iya, dulu di Magelang Dek. Empat tahun lalu. Sempet ketahuan polisi. Tapi seperti kita tahu, papa cerdik bukan main. Lolos dia.”
Bening menelan ludah. Ia beru tahu pekerjaan papa angkatnya itu. Yang ia tahu selama ini adalah bisnis furniture. Berarti pelaku penebangan pohon di kampungnya dulu adalah papa angkatnya itu. Bening tidak habis pikir. Pantas saja tiba-tiba Pak Lurah kerumah setelah ibunya meninggal dan menawari dia dan adiknya untuk pindah ke Jogjakarta bersama Papa angkatnya kini.  Seketika air matanya meleleh. Hatinya sakit bukan main. Jadi apa maksud semua ini? Ayahnya terbunuh, ibunya kena virus H5N1 yang tak lepas dari akibat buruk penebangan hutan. Dan selama ini, ia tinggal bersama pembunuhnya.

Dirga bingung dengan reaksi Bening setelah ia bercerita. Ia berulangkali bertanya ada apa. Sia-sia, bening justru semakin menangis. Kemudian Bening keluar begitu saja meninggalkan kedai itu dan naik taksi meninggalkan Dirga yang masih belum mengerti semua ini. 

warnakata

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

4 komentar: