Ruang kuliah sudah penuh sesak oleh mahasiswa
pertanda jam kuliah sudah dekat. Benar saja, belum sampai Bening menemukan
kursi kosong, dosen favorit mahasiswa ini masuk. Kursi kosong yang masih
tersisa hanya ada di deretan paling belakang. Tentu saja. Tak ada yang mau
melewatkan deretan depan untuk kuliah ini. Pendidikan Lingkungan Hidup. Bukan
karena mata kuliahnya yang mengasyikkan, tapi dosennya yang kerennya kebangetan
bagi nyaris seluruh mahasiswi. Ya, nyaris. Karena memang ada satu orang mahasiswi
yang sama sekali tak tertarik pada dosen ini. Bening. Ia justeru risih melihat
teman-temannya keganjenan sama sang dosen keren. Jadi ia santai saja dapat
tempat duduk dibelakang.
pic:yoyahijab.com |
Hari ini sang dosen keren membahas mengenai
kelestarian hutan di Indonesia yang semakin tak terjaga. Ternyata perkembangan
virus flu burung yang sempat marak di Indonesia tidak lepas dari deforestasi
yang tinggi di negeri ini. Karena sebenarnya jumlah mikroba yang hidup di alam
seimbang dengan ekosistemnya sehingga tidak sempat menyerang manusia.
Manusialah yang merusak ekologi mikroba tersebut. Hasilnya, keseimbangan hidup
mikroba berubah. Dan perubahan ini menyebabkan mikroba mengalami transformasi
dalam kehidupannya. Mikroba transformatif inilah yang akhirnya menyerang manusia.
“Seperti kita tahu, flu burung yang menular lewat
pernafasan. Berdasarkan penelitian, penyebab penyakit itu adalah polusi udara
dan penebangan hutan yang sewenang-wenang. Sedangkan oksigen terbesar berasal
dari hutan. Jika hutan rusak maka suplai oksigen berkurang. Dampaknya luar
biasa: mikroba akan tumbuh subur dan perkembangbiakannya tak terkendali. Sebab,
oksigen- yang bila terkena sinar ultraviolet dari matahari berubah menjadi ozon
(O3) dan O nascend- adalah pembunuh mikroba dan virus yang amat efektif. Bila
oksigen berkurang, pembunuh mikroba dan virus pun berkurang, hingga muncullah
varian baru virus flu burung HxNy dimana yang dahulu sempat menyerang adalah varian
H5N1”. Penjelasan dosen keren itu sempurna memukau mahasiswi. Bukan karena
mereka tertarik materinya, sekali lagi, karena kharisma sang dosen.
Bening menyimak penjelasan tanpa berkedip. Bukan
karena ia menyadari kalau dosen itu memang keren seperti yang telah dilakukan
teman-temannya. Namun ia teringat pada almarhumah ibunya yang meninggal karena
virus ini. Ternyata ini ada hubungannya dengan aktivitas penebangan pohon yang
ada selama bertahun-tahun dihutan pinggir kampungnya dahulu.
Dosen keren itu menyelipkan jokes-jokes yang sukses
membuat seisi kelas tertawa kecuali Bening. Ia sibuk dalam ingatan masa
lalunya. Andai saja hutan dikampungnya dulu tak ditebangi, andai saja
orang-orang kota itu tak datang, dan andai saja tak ada oknum pemerintah yang
enteng saja menjual hutan kampungnya demi segepok rupiah, pasti ibu dan ayahnya
masih ada hingga saat ini.
Bening menghela nafas pajang sambil memperbaiki
posisi duduknya. Matanya menerawang. Sementara mahasiswa lain di kelas itu
masih terlibat diskusi yang sebenarnya lebih banyak yang cari perhatiannya dari
pada memikirkan argumen yang berkualitas. Bening tak tertarik masuk kedalamnya.
Fakta yang barusan ia dengar cukup membuat sakit hati itu terasa kembali. Ia
belum tahu, bahwa luka itu akan sempurna menganga kembali beberapa saat
kemudian.
***
Bening banguuuun!!
Emak berteriak dari dapur ditengah kesibukannya
menyiapkan sarapan. Tanpa diperintah Tulus meringsek kekamar kakaknya dan
langsung menjatuhkan diri ke badan kakaknya yang masih berselimut.
Bening mengaduh.
“Ayo kak bangun, atau emak akan menyiram kakak
dengan air satu ember” bisik Tulus ditelinga Bening.
Bening hanya bisa pasang muka kesal sembari
mendorong adiknya turun dari tempat tidur. Adiknya mengaduh dan Bening sama
sekali tak peduli.
“Apakah tidak ada kompensasi untuk bangun siang di
hari libur seperti ini?” Bening bangkit dengan mengerutu. Ia melipat selimut
dan pergi ke kamar mandi. Tentu saja harus melewati dapur dengan bonus omelan
emak karena telat bangun.
“Hari ini kau ikut emak mencari Kejibeling dihutan
untuk obat Yu Darmi. Adikmu biar main saja di lapangan!” Perintah Emak pada
Bening ketika ia keluar dari kamar mandi. Yu Darmi adalah tetangga dekat kami. Sudah
lama ia sakit. Hidup disini sudah terbiasa begitu, saling tolong menolong.
Bening menjawab malas, “Iya Mak”. Tak ada yang bisa
mengelak perintah Emak dirumah ini kecuali Bapak.
Seusai sarapan Bening meninggalkan rumah bersama
Emak. Mereka mencari kejibeling sebagai bahan obat batu ginjal untuk
tetangganya. Mereka melewati jalan setapak menuju hutan. Ini bukan kali pertama
Bening ke hutan. Ia nyaris hafal jalan
di hutan. Dari umur lima tahun ia sudah diajak emak pergi ke hutan mencari
rempah yang tumbuh liar untuk dijual atau pun dibuat jamu. Emak pandai sekali
membuat jamu. Tak jarang tetangga meminta emak membuatkan jamu untuk
keluarganya yang sakit. Seperti kali ini, emak akan membuat jamu untuk untuk Yu
Darmi
Tinggal menuruni jalan setapak berbatu yang cukup
curam untuk sampai kehutan. Ditengah hangatnya matahari pagi, nyanyian burung,
dan suara aliran sungai, seharusnya tempat ini menyajikan keindahan dan
ketenangan tak terkira. Namun nyatanya tak selalu begitu. Bening dan Emak masih
berdiri ditempat yang tinggi ini. Hampir di puncak bukit, tinggal satu kali
naik lagi. Mereka berdua mematung ditengah barisaan rumput liar yang tak rapi.
Bening menyingkirkan sesuatu yang bergerak dikakinya, untuk kemudian kembali
menatap pemandangan dibawah sana.
Dari sini, terlihat jelas aktivitas menyedihkan itu.
Penebangan kayu yang semakin hari semakin rajin saja. Ya, setiap hari banyak
orang kota yang datang ke hutan untuk menebang pohon. Orang-orang kampung tak
bisa berbuat apa-apa. Apalah daya orang-orang kampung yang rata-rata
berpendidikan SD ini jika dibandingkan orang-orang kota yang katanya
berpendidikan itu, tapi bersikap seolah tak pernah dididik. Mereka terus saja
merusak hutan.
Bening dan Emak sibuk dalam pikiran masing-masing. Emak
hanya mengakhiri kediaman mereka dengan memberitahu Bening kalau hari ini ada
pertemuan tetua kampung untuk membahas masalah penebangan pohon yang semakin
parah. Bapak pasti ikut disana.
Selepas mengambil beberapa daun kejibeling, Emak
mengajak untuk bergegas. Kembali Bening
mematung di tempat yang tadi saat perjalanan pulang. Emak melotot, tanda untuk
bergegas.
Mereka berpapasan dengan banyak bapak-bapak yang
pulang dari rapat kampung beberapa saat kemudian. Wajah-wajah itu menyimpan
kesedihan dan kemarahan mendalam. Entah apa hasil keputusannya, Bening berniat
menanyakan ke bapak nanti.
“Bagaimana
Pak hasil rapat tadi?” Bening langusng menghampiri Bapaknya yang sedang
memperbaiki sepeda didepan rumah.
Bapak tak mau menjawab pertanyaan itu. Dia bilang
ini urusan orang tua. Meskipun sudah remaja, bagi bapak Bening tetaplah putri kecilnya
yang belum saatnya memikirkan masalah kampung. Dan Bening, tentu saja tak dapat
memaksa Bapaknya.
Esok harinya, pagi-pagi sekali Bapak sudah keluar
rumah. Emak hanya bilang Bapak dan tetua kampung ingin bersiap menemui
orang-orang kota yang suka menebang pohon itu. Bening berangkat sekolah seperti
biasanya. Sekolah yang berada di kampung sebelah itu dijangkaunya dengan
berjalan kaki dua puluh menit saja. Ini tahun terakhir Bening di SMP.
Hingga Bening pulang sekolah, bapak tak kunjung
pulang. Entah apa yang dikerjakan bapak di hutan. Emak juga tak ada. Hanya
Tulus yang menyambut dirumah. Ia sudah pulang lebih dahulu dari SD.
“Emak ke pasar ya? Bapak belum pulang?”
“Emak ke rumah kakek Kak, Bapak juga belum pulang
sejak tadi.”
Belum sempat Bening meletakkan tas, ada orang yang
mengetuk pintu memanggil-mangil nama Emak. Bening membuka pintu. Ternyata tak
hanya satu orang, ada banyak orang yang mendatangi rumahnya. Tapi bukan itu
yang membuatnya kaget, melainkan ayahnya yang digotong. Bening histeris memanggil
Bapak.
“Bapaaaaak!!
Semula Bening mengira bahwa bapak pingsan. Namun ternyata
tidak. Tubuh bapak sudah dingin. Nadinya tak berdenyut lagi. Bening menangis
histeris mengetahui bapak telah tiada. Tak lama kemudian Emak datang dengan
berurai air mata. Emak histeris dan memeluk bapak lama sekali hingga tetangga
membimbing Emak melepaskan jenazah bapak untuk dimandikan. Bening memeluk Tulus yang sedari tadi tak berhenti
menangis dipojok ruangan berukuran 4x4 meter itu. Akhirnya tulang punggung
keluarga ini tiada.
Sebulan berlalu sepeninggal bapak, keluarga ini
masih dirundung duka. Emak berusaha bangkit meski kadang masih jelas terlihat
raut kesedihan diwajahnya. Kini hanya Emak saja yang menghidupi keluarga ini.
Emak banting tulang setiap hari mengurus ladang dan berjualan dipasar demi
anak-anaknya bisa makan dan sekolah.
Diluar sana, penebangan hutan semakin menggila.
Sekarang hanya setengah bagian hutan kampung yang tersisa. Bening mulai
mempertanyakan hal ini pada Emak ketika mereka beristirahat ditepi sungai setelah
mengurus ladang. Akhirnya, Emak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak.
Bapak ditembak oleh bos orang-orang yang menebangi
pohon itu karena bapak dianggap sebagai provokator untuk melawan mereka.
Setelah kejadian itu pun warga sudah lapor ke polisi, namun apadaya, tak ada
bukti yang kuat bahwa bos itu menembak bapak dan entah mengapa polisi
cepat-cepat menutup kasus itu. Emak menangis tertahan disela-sela ceritanya. Bening
memeluk emak dengan perasaan yang ia sendiri tak dapat mendefinisikannya.
Kini tak ada yang berani melawan penebangan pohon
itu lagi. Entah bagaimana nanti jika hutan ini benar-benar habis. Padahal hutan
adalah tumpuan warga kampung. Pekerjaan mereka ada disana, mulai dari mencari
rempah, berburu sarang madu, kayu bakar, dan banyak lagi lainnya. Hewan-hewan
hutanpun terancam kehilangan tempat tinggal. Tak heran, akhir-akhir ini banyak
monyet yang masuk ke kampung mencari makan. Monyet-monyet itu masih liar hingga
membuat warga takut.
Kesedihan
kampung semakin hari bukan semakin selesai, malah bertambah banyak. Beberapa
hari belakangan unggas milik warga kampung banyak yang mati mendadak. Ayam
milik Emak yang jumlahnya tak seberapa pun juga mati. Entah apa yang terjadi. Emak
jatuh sakit tak lama setelah itu. Badannya panas. Emak lemas sekali. Batuk dan hidung berlendir tak berkesudahan. Emak juga mimisan dan muntah,
sehari lebih dari tiga kali. Emak tak mengeluh sama sekali meski aku tahu, kepala
emak sakit dan emak juga sesak napas.
Bening panik disuatu malam ketika Emak tak henti
mimisan. Dia segera meminta tolong tetangga untuk membawa emak ke puskesmas.
Tulus tak berheti menangis hingga sampai
di puskesmas. Dokter juga belum bisa menjelaskan emak sakit apa, yang jelas
semakin hari semakin parah. Hingga seminggu kemudian dokter baru memberi tahu
bahwa Emak terkena virus H5N1 atau yang dikenal flu burung. Bening terkejut
bukan main. Bening pernah mendengar virus ini dari televisi. Memang akhir-akhir
ini ada virus baru yaitu flu burung yang katanya mematikan.
Dokter menyarankan agar merujuk Emak
ke rumah sakit dikota yang peralatannya lebih lengkap. Bening menurut. Untung
saja Emak punya kartu jaminan kesehatan sehingga biaya berobat tidak tinggi.
Besok rencananya Bening akan membawa Emak ke kota.
Matahari sudah hampir tenggelam
ketika Bening masuk ke ruang perawatan Emak. Diluar sana hujan masih enggan
untuk berhenti. Ia merasa aneh, Emak masih belum bangun sejak siang.
“Emak bangun Mak,” Bening
mengguncangkan tubuh Emak. Namun rupanya yang dipanggil-panggil tak kunjung
membuka matanya. Bening mulai panik. Ia berseru memanggil dokter.
Dengan tergopoh-gopoh dokter
menuju bilik ukuran 2x2 meter itu. Memeriksa sebentar. Sang dokter kemudian
balik badan dan memegang tagan Bening. Mengatakan dengan hati-hati bahwa Emak
telah tiada.
Bening terdiam. Ia memalingkan
pandangan pada Tulus yang masih tidur dikursi panjang, entah bagaimana ia akan
menjelaskan padanya nanti.
***
Senja sudah menjelang. Kawanan burung pipit sudah
mulai berbondong-bondong kembali kesarangnya. Perutnya sudah kenyang mencari
makan. Matahari masih menyisakan sinar lembut diluar sana. Senja yang sempurna
untuk jogging keliling kampus atau sekadar jalan-jalan mencari kudapan
dilapak-lapak sepanjang jalan yang mendadak berubah seperti pasar. Kesibukan sore mahasiswa sudah dimulai diluar
sana, tapi kuliah ini belum juga usai. Bening mulai resah. Ia ada janji lain.
Janji bertemu dengan seseorang yang sangat ia harapkan.
Sepuluh menit kemudian ia sudah lari menuju taman
kampus. Seseorang telah menunggunya disana. Mungkin sudah lama. Harusnya memang
sejak dua puluh menit yang lalu ia sudah disini.
“Maaf, udah lama nunggu ya?” Bening duduk didepan
seseorang itu. “Kuliahku molor tadi, dosennya keasyikan ngomong sampe lupa
waktu.”
“No problem
Bening, aku baru aja kok disini” Mau udah nunggu berjam-jam juga pasti
bilangnya baru aja.
Mereka mulai pembicaraan. Diselingi dengan candaan
khas anak muda. Senja yang sempurna. Bukan hanya karena cuacanya, namun karena
pertemuan Bening dengan seseorang yang sepertinya spesial itu.
“Jadi kamu mau kemana Kak setelah wisuda?” Bening
mengambil foto-foto wisuda ditangan orang didepannya.”
“Ke hatimu,” Jawabnya singkat.
Bening tertawa mendengar alegori basi itu. Obrolan
mereka tertahan gerimis yang mulai turun. Mereka memutuskan meninggalkan tempat
itu menuju sebuah kedai kopi di kawasan kampus. Kedai itu belum ramai oleh
anak-anak kekinian yang hobinya nongki
setiap malam. Bening memilih tempat duduk paling depan. Biar bisa menikmati gerimis
katanya. Ia memesan coklat panas, sementara seseorang didepannya memesan
cappucino.
Mereka asyik ngobrol ketika ada seorang laki-laki di
tempat fotocopy sebelah yang memanggil “Dirga!”
Yang dipanggil menyahut dan segera permisi untuk
menemui laki-laki itu. Kawan lama rupanya. Saat itulah HP Dirga berdering. Bening
melirik sekilas dan tanpa pikir panjang mengangkatnya.
“Halo Pa? ini Bening, Kak Dirga lagi ngobrol didepan
sama temennya. Kita masih dikampus nih Pa.”
“Ohh oke Bening, Papa hanya mau bilang malam ini
tidak pulang. Tolong ingatkan Dirga mengambil mobil papa di bengkel besok pagi.
Soalnya siang mau dipakai. Gitu ya, jangan pulang malam-malam kalian. Bye”
Klik. Telepon ditutup tanpa sempat Bening menyahut.
Dirga kembali ke meja mereka setelah itu. Bening
langsung menceritakan apa yang baru saja terjadi.
“Papa tuh emang dasar ya! pasti eksekusi dipinggiran
Jawa Timur itu jadi deh. Sampai kapan coba papa melakukan ini.”
“Eksekusi apa?”
“Loh kamu nggak tau? hutan Dek.
“Ilegalloging?”
“Yah, something
like that, Papa tuh nggak pernah kapok. Padahal udah sampe ada yang
meninggal gara-gara papa keras kepala.”
“Meninggal?”
“Iya, dulu di Magelang Dek. Empat tahun lalu. Sempet
ketahuan polisi. Tapi seperti kita tahu, papa cerdik bukan main. Lolos dia.”
Bening menelan ludah. Ia beru tahu pekerjaan papa
angkatnya itu. Yang ia tahu selama ini adalah bisnis furniture. Berarti pelaku
penebangan pohon di kampungnya dulu adalah papa angkatnya itu. Bening tidak
habis pikir. Pantas saja tiba-tiba Pak Lurah kerumah setelah ibunya meninggal
dan menawari dia dan adiknya untuk pindah ke Jogjakarta bersama Papa angkatnya
kini. Seketika air matanya meleleh.
Hatinya sakit bukan main. Jadi apa maksud semua ini? Ayahnya terbunuh, ibunya
kena virus H5N1 yang tak lepas dari akibat buruk penebangan hutan. Dan selama
ini, ia tinggal bersama pembunuhnya.
Dirga bingung dengan reaksi Bening setelah ia
bercerita. Ia berulangkali bertanya ada apa. Sia-sia, bening justru semakin
menangis. Kemudian Bening keluar begitu saja meninggalkan kedai itu dan naik
taksi meninggalkan Dirga yang masih belum mengerti semua ini.
Kereeennn
BalasHapusKereeennn
BalasHapusmenunggu tulisanmu yang lebih keren :p
BalasHapusKok aku sedih �� Andai ku dapati sejak mula bahwa ia sang "pemusnah" tak akan ku sudi hidup bersamanya 😡
BalasHapus