Berhijab: Berproses dan Berprogress

by 19.16 0 komentar

Jika taat idealnya memang tak dipaksakan, namun pada kenyataannya, orang sulit untuk taat kalau tak dipaksa. Namun tak apa, awalnya mungkin terpaksa atau malah salah niat, namun lambat laun akan menjadi kebiasaan dan dengan proses belajar, akan semakin pahamlah kita dan bisa meluruskan niat.
Hijab adalah hal baru bagiku. Aku dibesarkan ditengah keluarga yang tidak terlalu kental religiusnya. Kami yang masih muda hanya berhijab saat acara-acara tertentu saja. Nyaris tak ada yang berhijab diseluruh kesehariannya. Dari kecil orang tuaku juga tak membiasakan berhijab bagi anak-anaknya.
Aku sekolah di sekolah dasar negeri. Sama sekali tak terbersit keinginan berhijab, atau saat itu aku menyebutnya berjilbab. Aku hanya berhijab saat pengajian sore saja.
Lalu aku masuk ke sekolah menengah pertama. Inilah pertama kali intensitasku berhijab naik drastis. Aku masuk ke Madrasah Tsanawiyah, mau tak mau harus berhijab. Awal-awal berhijab merasakan betapa repot dan gerahnya berhijab. Namun saat itu karena memang peraturan, jadi ya tetap dijalankan. Aku enjoy saja  menjalankannya, karena memang banyak teman-teman yang berhijab meski masuk SMP Negeri sekalipun.
Lambat laun aku mulai terbiasa berhijab. Namun tetap saja, hijabku hanya bertahan hingga pulang sekolah. Setelah itu ya dilepas lagi. Ketiadaan koleksi baju panjang juga membuat aku enggan berhijab selain disekolah.
Kelas dua SMP, aku mulai tertarik berhijab secara penuh setelah diberi penjelasan bahwa hijab itu wajib. Saat itu berhijab dilingkungan rumah adalah suatu yang baru dilingkunganku. Tak ada sama sekali yang melakukannya. Aku cukup ragu dan berpikir berulang-ulang untuk berhijab dilingkungan rumah. Hingga suatu hari aku mulai berhijab. Tahukah kau bagaimana reaksi saudara-saudaraku? Aku terus-terusan ditanya mau kemana. Iya, dilingkungan keluarga kami, hijab umumnya dipakai untuk pergi keluar dengan agenda tertentu. Aku yang saat itu masih ragu dalam berhijab kembali ciut nyalinya. Kulepas lagi hijab itu karena semakin banyak orang yang menanyai ini itu.
Aku kembali ke kebiasaan tak berhijab-kecuali kesekolah- lagi. Hal itu bertahan hingga kelas dua SMA. Meski bersekolah di sekolah negeri, aku tetap berrhijab. Bukan karena itu kewajiban, tapi karena sudah terlanjur menjadi lulusan sebuah madrasah tsanawiyah. Apa kata guru-guruku nanti jika melihat aku tak berhijab?
Keraguan untuk berhijab adalah belum yakinnya aku untuk bisa konsisten berhjab dengan lingkungan yang tak terbiasa berhijab seperti ini. Aku takut tak kuat hingga akhirnya melepas kembali jilbabku seperti saat aku di madrasah tsanawiyah.
Kesadaran berhijab secara penuh masih belum ada dipikiran dan hatiku hingga hari lebaran tahun 2012. Usiaku 16 tahun. Lebaran adalah momen dengan intensitas pemakaian hijab yang lebih banyak dikeluarga kami. Aku mulai benar-benar menyadari kewajiban seorang wanita baligh adalah berhijab setelah membaca beberapa buku dan mengaji pada seorang ustadzah. Maka kuputuskan sejak lebaran itu, aku tak akan melepas hijabku lagi selamanya.
Aku berusaha penuh untuk menyesuaikan diri dengan hijab yang setiap saat melindungi kepalaku. Ada tatapan aneh orang-orang saat awal aku berhijab. Aku cuek saja. Untunglah, saudara-saudaraku tak banyak komentar soal hijabku ini.
Ada kekhawatiran tak bisa leluasa beraktivitas setelah berhijab, namun ternyata tak ada sama sekali yang terjadi. Memang benar, kebanyakan kekhawatiran itu tak terjadi.
Seiring berjalannya waktu,  aku bertambah yakin bahwa hijab bukan sekadar sunnah, atau bahkan pilihan. Hijab, menutup aurat, adalah kewajiban bagi seorang wanita baligh. Sama seperti kewajiban shalat, puasa ramadhan, zakat. dan kewajiban-kewajiban lain.
Aku mulai berhijab dengan jilbab paris. Saat usiaku 17, aku baru menyadari kalau jilbab paris itu nerawang sekali. Aku teringant pelajaran agama islamku, memakai pakaian yang transparan sama saja dengan tak berpakaian bukan? Aku mulai mencari lagi hijab tebal seragam sekolah yang dulu sempat kusingkirkan karena gerah kalau dipakai. Aku memakainya lagi meskipun ya rasanya masih sama. Saat itu nyaris tak ada yang menjual jilbab selain jilbab paris dan jilbab tebal yang panas ini ditoko-toko. Aku belum punya ide sama sekali untuk membeli kain sendiri lalu dijahit menjadi jilbab seperti sekarang. Aku menggunakan apa yang ada.
Terlalu gerah dengan jilbab itu ditambah pendengaranku yang agak terhalang dengan jilbab kain yang entah bahannya kain apa, aku mulai mengakali dengan mendobel jilbab paris. Sungguh kalau urusan mendobel ini murni ideku. Sama sekali aku tak nyontek siapa pun. Disekolah saat itu juga tidak ada yang memakai hijab seperti itu. Hingga kadang aku merasa bangga sekali dengan penemuan ini. Padahal ya kalau aku sedikit saja melek, ternyata banyak juga orang diluar sana yang sudah memakainya.
Aku masih berhijab dengan ukuran standar, bisa dibilang kecil. Semenjak aku masuk perguruan tinggi, aku mulai sedikit membesarkan jilbabku. Disini aku mulai belajar lagi bagaimana berhijab dengan baik dan benar. Hijab itu menutup, bukan membungkus. Itu yang kupahami.  
Seperti yang dijelaskan di surat An-Nur. “Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangnnya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,.......” , itu sudah cukup jelas menunjukkan bagaimana seharusnya wanita berhijab. Tak bisa sembarangan. Bukankah saat ini banyak manusia-manusia kekinian yang gagal fokus dalam style berhijab? Berhilbab sih, tapi bajunya ketat. Berhijab sih, tapi ujung rambut kelihatan. Iya berhijab, tapi kainnya transparan. Jadi bikin sedih.
Tapi baiklah. Tak ada masalah jika memang sedang belajar. Aku tahu, berhijab itu butuh proses teramat panjang. Untuk sampai pada keputusan berhijab saja sudah Alhamdulillah. Yang sulit itu istiqomahnya. Tapi akan lebih baik jika berhijab bukan hanya proses, tapi progress. Diiringi belajar sehingga kita dapat benar-benar memahami kewajiban berhijab itu dan mempraktekannya. Aku pun sadar. Aku masih dalam proses belajar. Masih terus berusaha memperbaiki hijab.
Cukup lama aku bertahan dengan hijab paris andalanku. Hingga tepat setahun lalu, aku mulai menggantinya dengan bahan yang lebih tebal seperti wolfis, juga velvet. Aku kembali sadar, paris tak mampu lagi melindungi meski sudah didobel. Aku menyisihkan uang bulananku untuk proses ‘hijrah’ ini. Meski belum banyak koleksi, sekarang aku sudah mem-pensiunkan jilbab-jilbab parisku. Sebagian besar kuberikan pada kakakku yang sedang mulai belajar berhijab, sebagian lagi tak sengaja dibuat lap di rumah.
Kini  sudah tidak ada lagi tawar menawar soal hijab bagiku. Insya Allah aku bertekad istiqomah dengan jilbab ini. Aku mulai merasakan manfaat hijab yang luar biasa. Ia membentengiku untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Ia efektif sekali menjaga sikapku.
Banyak orang bilang, yang penting hatinya dulu yang berhijab, fisik mah nanti-nanti. Buatku itu hanya alasan untuk tak berhijab. Aku semakin paham, bahwa berhijab tak perlu menunggu hati terjaga dari maksiat dulu, menunggu diri bisa bersikap baik dulu seperti yang dikatakan banyak orang. Justru dengan berhijab dahulu lah, baru hati akan terjaga, sikap akan terbentuk. Jika menunggu hati siap mungkin takutnya malah nggak jadi ya, malaikat menyabut nyawa kita tak menunggu kita siap dulu bukan?
Saya setuju sekali dengan kalimat ini,
Wanita yang berhijab belum pasti baik hatinya. Tapi wanita yang baik hatinya, pasti berhijab.

warnakata

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar