Jika taat idealnya memang tak dipaksakan, namun pada kenyataannya,
orang sulit untuk taat kalau tak dipaksa. Namun tak apa, awalnya mungkin
terpaksa atau malah salah niat, namun lambat laun akan menjadi kebiasaan dan
dengan proses belajar, akan semakin pahamlah kita dan bisa meluruskan niat.
Hijab adalah hal baru bagiku. Aku dibesarkan ditengah keluarga yang
tidak terlalu kental religiusnya. Kami yang masih muda hanya berhijab saat
acara-acara tertentu saja. Nyaris tak ada yang berhijab diseluruh
kesehariannya. Dari kecil orang tuaku juga tak membiasakan berhijab bagi
anak-anaknya.
Aku sekolah di sekolah dasar negeri. Sama sekali tak terbersit
keinginan berhijab, atau saat itu aku menyebutnya berjilbab. Aku hanya berhijab
saat pengajian sore saja.
Lalu aku masuk ke sekolah menengah pertama. Inilah pertama kali
intensitasku berhijab naik drastis. Aku masuk ke Madrasah Tsanawiyah, mau tak
mau harus berhijab. Awal-awal berhijab merasakan betapa repot dan gerahnya
berhijab. Namun saat itu karena memang peraturan, jadi ya tetap dijalankan. Aku
enjoy saja menjalankannya, karena memang
banyak teman-teman yang berhijab meski masuk SMP Negeri sekalipun.
Lambat laun aku mulai terbiasa berhijab. Namun tetap saja, hijabku
hanya bertahan hingga pulang sekolah. Setelah itu ya dilepas lagi. Ketiadaan
koleksi baju panjang juga membuat aku enggan berhijab selain disekolah.
Kelas dua SMP, aku mulai tertarik berhijab secara penuh setelah
diberi penjelasan bahwa hijab itu wajib. Saat itu berhijab dilingkungan rumah
adalah suatu yang baru dilingkunganku. Tak ada sama sekali yang melakukannya. Aku
cukup ragu dan berpikir berulang-ulang untuk berhijab dilingkungan rumah.
Hingga suatu hari aku mulai berhijab. Tahukah kau bagaimana reaksi
saudara-saudaraku? Aku terus-terusan ditanya mau kemana. Iya, dilingkungan
keluarga kami, hijab umumnya dipakai untuk pergi keluar dengan agenda tertentu.
Aku yang saat itu masih ragu dalam berhijab kembali ciut nyalinya. Kulepas lagi
hijab itu karena semakin banyak orang yang menanyai ini itu.
Aku kembali ke kebiasaan tak berhijab-kecuali kesekolah- lagi. Hal
itu bertahan hingga kelas dua SMA. Meski bersekolah di sekolah negeri, aku
tetap berrhijab. Bukan karena itu kewajiban, tapi karena sudah terlanjur
menjadi lulusan sebuah madrasah tsanawiyah. Apa kata guru-guruku nanti jika
melihat aku tak berhijab?
Keraguan untuk berhijab adalah belum yakinnya aku untuk bisa konsisten
berhjab dengan lingkungan yang tak terbiasa berhijab seperti ini. Aku takut tak
kuat hingga akhirnya melepas kembali jilbabku seperti saat aku di madrasah
tsanawiyah.
Kesadaran berhijab secara penuh masih belum ada dipikiran dan hatiku
hingga hari lebaran tahun 2012. Usiaku 16 tahun. Lebaran adalah momen dengan
intensitas pemakaian hijab yang lebih banyak dikeluarga kami. Aku mulai
benar-benar menyadari kewajiban seorang wanita baligh adalah berhijab setelah
membaca beberapa buku dan mengaji pada seorang ustadzah. Maka kuputuskan sejak
lebaran itu, aku tak akan melepas hijabku lagi selamanya.
Aku berusaha penuh untuk menyesuaikan diri dengan hijab yang setiap
saat melindungi kepalaku. Ada tatapan aneh orang-orang saat awal aku berhijab.
Aku cuek saja. Untunglah, saudara-saudaraku tak banyak komentar soal hijabku
ini.
Ada kekhawatiran tak bisa leluasa beraktivitas setelah berhijab,
namun ternyata tak ada sama sekali yang terjadi. Memang benar, kebanyakan
kekhawatiran itu tak terjadi.
Seiring berjalannya waktu, aku
bertambah yakin bahwa hijab bukan sekadar sunnah, atau bahkan pilihan. Hijab,
menutup aurat, adalah kewajiban bagi seorang wanita baligh. Sama seperti
kewajiban shalat, puasa ramadhan, zakat. dan kewajiban-kewajiban lain.
Aku mulai berhijab dengan jilbab paris. Saat usiaku 17, aku baru
menyadari kalau jilbab paris itu nerawang
sekali. Aku teringant pelajaran agama islamku, memakai pakaian yang transparan
sama saja dengan tak berpakaian bukan? Aku mulai mencari lagi hijab tebal
seragam sekolah yang dulu sempat kusingkirkan karena gerah kalau dipakai. Aku
memakainya lagi meskipun ya rasanya masih sama. Saat itu nyaris tak ada yang
menjual jilbab selain jilbab paris dan jilbab tebal yang panas ini ditoko-toko.
Aku belum punya ide sama sekali untuk membeli kain sendiri lalu dijahit menjadi
jilbab seperti sekarang. Aku menggunakan apa yang ada.
Terlalu gerah dengan jilbab itu ditambah pendengaranku yang agak
terhalang dengan jilbab kain yang entah bahannya kain apa, aku mulai mengakali
dengan mendobel jilbab paris. Sungguh kalau urusan mendobel ini murni ideku.
Sama sekali aku tak nyontek siapa pun. Disekolah saat itu juga tidak ada yang
memakai hijab seperti itu. Hingga kadang aku merasa bangga sekali dengan
penemuan ini. Padahal ya kalau aku sedikit saja melek, ternyata banyak juga
orang diluar sana yang sudah memakainya.
Aku masih berhijab dengan ukuran standar, bisa dibilang kecil.
Semenjak aku masuk perguruan tinggi, aku mulai sedikit membesarkan jilbabku.
Disini aku mulai belajar lagi bagaimana berhijab dengan baik dan benar. Hijab
itu menutup, bukan membungkus. Itu yang kupahami.
Seperti yang dijelaskan di surat An-Nur. “Dan katakanlah kepada
perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangnnya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali yang
(biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dadanya,.......” , itu sudah cukup jelas menunjukkan bagaimana seharusnya
wanita berhijab. Tak bisa sembarangan. Bukankah saat ini banyak manusia-manusia
kekinian yang gagal fokus dalam style berhijab? Berhilbab sih, tapi bajunya
ketat. Berhijab sih, tapi ujung rambut kelihatan. Iya berhijab, tapi kainnya
transparan. Jadi bikin sedih.
Tapi baiklah. Tak ada masalah jika memang sedang belajar. Aku tahu,
berhijab itu butuh proses teramat panjang. Untuk sampai pada keputusan berhijab
saja sudah Alhamdulillah. Yang sulit itu istiqomahnya. Tapi akan lebih baik
jika berhijab bukan hanya proses, tapi progress. Diiringi belajar sehingga kita
dapat benar-benar memahami kewajiban berhijab itu dan mempraktekannya. Aku pun
sadar. Aku masih dalam proses belajar. Masih terus berusaha memperbaiki hijab.
Cukup lama aku bertahan dengan hijab paris andalanku. Hingga tepat
setahun lalu, aku mulai menggantinya dengan bahan yang lebih tebal seperti
wolfis, juga velvet. Aku kembali sadar, paris tak mampu lagi melindungi meski
sudah didobel. Aku menyisihkan uang bulananku untuk proses ‘hijrah’ ini. Meski
belum banyak koleksi, sekarang aku sudah mem-pensiunkan jilbab-jilbab parisku.
Sebagian besar kuberikan pada kakakku yang sedang mulai belajar berhijab,
sebagian lagi tak sengaja dibuat lap di rumah.
Kini sudah tidak ada lagi
tawar menawar soal hijab bagiku. Insya Allah aku bertekad istiqomah dengan
jilbab ini. Aku mulai merasakan manfaat hijab yang luar biasa. Ia membentengiku
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Ia efektif sekali menjaga sikapku.
Banyak orang bilang, yang penting hatinya dulu yang berhijab, fisik
mah nanti-nanti. Buatku itu hanya alasan untuk tak berhijab. Aku semakin paham,
bahwa berhijab tak perlu menunggu hati terjaga dari maksiat dulu, menunggu diri
bisa bersikap baik dulu seperti yang dikatakan banyak orang. Justru dengan
berhijab dahulu lah, baru hati akan terjaga, sikap akan terbentuk. Jika
menunggu hati siap mungkin takutnya malah nggak jadi ya, malaikat menyabut
nyawa kita tak menunggu kita siap dulu bukan?
Saya setuju sekali dengan kalimat ini,
Wanita yang berhijab belum pasti baik hatinya. Tapi wanita yang baik
hatinya, pasti berhijab.
0 komentar:
Posting Komentar