Ayah sampai tak habis pikir melihat kelakuanku. Aku berkali-kali meyakinkannya, dari pada aku belikan barang-barang nggak jelas, mending aku belikan sesuatu yang pasti bermanfaat kan?
tekoo.com |
Aku sudah lulus SMA sejak enam bulan
lalu. Dengan berbagai pertimbangan, aku memutuskan untuk tak melanjutkan kuliah
dan bekerja saja. Namun, pekerjaan memang sulit dicari. Entah sudah berapa
perusahaan yang sudah kukirimi surat lamaran, semua menolak. Sebagian karena
kualifikasiku tak mencukupi, sebagian lagi karena kerudungku. Dan itu yang
paling menyakitkan.
Ayah tak terlalu ambil pusing dengan
status pengangguranku. Mungkin karena aku perempuan yang tak memiliki kewajiban
moral dan finansial seperti laki-laki. Apalagi aku satu-satunya perempuan
dirumah ini. “Biarlah kamu mengurus rumah dulu dek,” katanya.
***
Matahari masih belum seberapa tinggi
ketika aku sibuk menyapu halaman belakang rumah. Sesekali berhenti dan
bercengkrama dengan tetaangga yang lewat. Tak lama kemudian terdengar tawa dari
dalam rumah. Mungkin teman bapak yang biasa berkunjung. Aku tak
menghiraukannya.
Rumput sudah mulai lebat dihalaman rumah. Aku berbalik ke dapur
hendak mengambil pisau untuk membabatnya ketika kutemukan seseorang yang
kukenal berdiri diambang pintu. Kakak tiba lebih cepat dari yang ia kabarkan.
Ia sepertinya ingin membuat kejutan juga. Namun siapa sangka, justeru ia
sendiri yang terkejut melihat penampilanku sekarang.
Aku tersenyum manis didepannya dan
berlari mendekat memeluknya. Tiga tahun tak bertemu kakak kandung sendiri,
adalah hal yang berat bagiku. Aku sangat bahagia dengan pertemuan ini. Namun
tampaknya kakakku tak terlalu bahagia. Air mukanya berubah sejak aku menatapnya
tadi. Bukan, bukan karena ia tak rindu padaku. Aku yakin, pasti karena
penampilanku sekarang.
Tanpa bertanya kabar, ia hanya bertanya
dengan nada kesal, “Sejak kapan kamu seperti ini?”
Aku terdiam lama, menunduk dalam. Aku tak menyangka respon
kakakku akan seburuk ini.
“Jawab!” Kakak mulai marah dengan
kediamanku.
“Sudah dua tahun ini kak,” Aku masih
menunduk dalam.
Kakak kemudian menyumpahiku dengan
berbagai kalimat meyakitkan. “Pantas saja kau tak dapat pekerjaan, kerudungmu
itu dek, ngapain sih pake kerudung segala. Bikin repot aja. Ngga usah sok alim.
Kelakuanmu itu dibenerin dulu. Jangan bisanya cuma minta duit terus ke ayah,
ngrepotin terus!”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Kakaku
memang tempramental, namun ia tak pernah semarah ini padaku, terlebih sejak ibu
meninggal tiga tahun lalu. Tiga tahun menghadapi kerasnya negeri orang ternyata
turut memperkeras hatinya.
Kakakku melemparkan sebuah brosur
perusahaan tepat didepan mukaku. Sebuah perusahaan asuransi.
“Lepas kerudungmu sekarang juga! kau
diterima di perusahaan ini. Minggu depan kau mulai kerja.”
Aku hanya bisa menangis. Membantahnya
sekarang tentu tak ada gunanya, apa lagi menjelaskan kewajibanku berhijab
sebagai seorang muslimah. Kubiarkan kakak masuk kekamarnya dengan membanting
pintu.
Ayah, yang sedari tadi hanya diam
melihat kakak memarahiku, mendekat dan menepuk pundakku. “Sudah, biar nanti
ayah bicara sama kakakmu.”
Berhari-hari setelah itu, waktu ku
kuhabiskan dikamar saja. Kucoba berkali-kali menjelaskan pada kakak, aku tak
mau melepas kerudung untuk bekerja di perusahaan itu, ayah juga telah bicara
padanya untuk membatalkan saja keputusannya menyuruhku bekerja disana.
“Yah, aku malu sama temenku. Ini kemarin aku udah susah payah masukin Daniar ke sana, masa mau dibatalin gitu aja. Lagian dia ngapain sih pake kerudung segala. Bikin susah cari uang yah, perusahaan sekarang itu susah dimasukin wanita berkerudung.”
“Yah, aku malu sama temenku. Ini kemarin aku udah susah payah masukin Daniar ke sana, masa mau dibatalin gitu aja. Lagian dia ngapain sih pake kerudung segala. Bikin susah cari uang yah, perusahaan sekarang itu susah dimasukin wanita berkerudung.”
Begitu yang kudengar saat ayah mencoba
mengajak kakak bicara. Kakak memang tipe orang yang tak mau dibantah. Beda
dengan ayah yang lebih demokratis. Aku semakin bingung dengan semua ini. Aku
tak mau terus-terusan merepotkan ayah yang mulai renta, namun aku juga tak bisa
jika harus melepas kerudungku.
Hingga sore itu, lima hari sebelum
jadwalku bekerja di kantor asuransi milik teman kakak, sekali lagi kakak
menceraku dengan kalimat menusuk.
“Kamu ngga kasihan dek sama ayah? Sudah saatnya ayah istirahat, sudah mulai sakit-sakitan. Kita tuh harus mandiri. Oke kalau kamu bisa dapet pekerjaan yang gajinya setara dengan gaji perusahaan tempat kamu bekerja minggu depan itu dalam lima hari ini, kakak ngga akan maksa kamu bekerja disana.”
“Kamu ngga kasihan dek sama ayah? Sudah saatnya ayah istirahat, sudah mulai sakit-sakitan. Kita tuh harus mandiri. Oke kalau kamu bisa dapet pekerjaan yang gajinya setara dengan gaji perusahaan tempat kamu bekerja minggu depan itu dalam lima hari ini, kakak ngga akan maksa kamu bekerja disana.”
Lima hari? Aku tak yakin bisa
mendapatkan pekerjaan dengan gaji setinggi itu. Aku tak menjawab apapun. Dan
kakak selalu menganggap diam ku berarti setuju. Mau tak mau kukontak semua
teman yang kupunya, yang mungkin bisa mencarikanku pekerjaan lain. Yang bisa
menerimaku, juga menerima kerudungku.
Namun lima hari teramat singkat untuk
mencari pekerjaan dengan gaji yang lumayan tinggi itu. Aku tak berhasil
mendapatkannya. Kakak sudah tak bisa lagi dibantah. Dengan berat hati, aku
lepas jilbabku dan menuruti kemauan kakak. Keputusan yang sangat berat, teramat
berat, yang terpaksa aku ambil. Terlebih melihat Ayah yang jatuh sakit kemarin.
Aku sudah tak mampu lagi menahan desakan kakakku.
***
Hari demi hari kulalui pekerjaan sebagai
marketing di sebuah perusahaan asuransi. Penampilan memang salah satu hal
terpenting disini untuk menarik calon nasabah. Pekerjaanku bagus, didorong
kemampuan negosiasiku sudah terlatih sejak aku sekolah dengan sering tampil
sebagai juara berbagai perlombaan debat.
Aku memang memperoleh komisi lumayan
disini, setidaknya cukup untuk membiayai kebutuhanku dan sedikit membantu
kebutuhan ayah yang tak lagi bekerja sejak sakit asma yang dideritnaya kian
parah.
Namun tetap ada beban dosa yang
menghantui tiap kali aku mematut diri di depan cermin. Semakin lama semakin tak
tertahankan rasa takut itu. Aku takut sekali, Allah pasti sudah murka dengan
kelakuanku ini.
Kucoba mencari pekerjaan lain ditengah
kesibukan pekerjaanku. Betapa kutemukan banyak celah yang bisa kumasuki dengan
penampilanku seperti ini. Nyaris saja aku goyah dan melupakan niatanku untuk
kembali mencari tempat bekerja yang mau menerimaku dengan kerudungku, jika saja
tak kutemui Bu Mina. Bu Mina, pemilik gerai pastry, yang tadinya heran melihat
penampilanku yang masih tak berkerudung, kemudian bertanya lowongan pekerjaan
untuk gadis berkerudung, memberiku kesempatan bekerja digerainya setelah
kuceritakan permasalahanku.
Meski gaji yang bisa diberikan Bu Mina
tak setinggi komisiku di perusahaan asuransi, aku nekat saja. Tak tahan lagi
aku menahan semua ini. Rasa bersalahku sudah sedemikian besar. Ada kekhawatiran
imanku goyah lagi seperti saat kakak mendesakku untuk bekerja di perusahaan
asuransi ini, namun aku bertekad untuk tak mengulangi kesalahan yang sama. Beruntung,
aku bertemu Bu Mina yang sangat peduli padaku. Beliau memberiku pencerahan
untuk kembali berhijrah. Akan kubuktikan pada kakak bahwa kerudung tidaklah
menghalangi, tapi melindungi.
Risma Nur Anissa
Semarang, 29 Mei 2016
0 komentar:
Posting Komentar