Sungguh, hati masih
ingin tetap tinggal. Kalau saja tidak harus patuh pada peraturan, mungkin tetap
bisa untuk bertahan disini barang setahun dua tahun. Tapi aku harus terus
menjalankan hidupku. Bukannnya mau bilang disini tidak hidup, atau terasing,
meski memang secara geografis bisa dikatakan demikian. Desa ini selain teramat jauh dari ingar bingar perkotaan,
aksesnya hanya bisa ditempuh dengan perjalanan laut. Perlu waktu satu jam untuk
menuju kesini dari pelabuhan Babang di
Pulau Bacan, pulau utama Kabupaten Halmahera Selatan yang untuk mencapai
ibukota kabupaten ini, diperlukan empat jam perjalanan pesawat ke Ternate dari
Jakarta untuk kemudian naik kapal motor
selama semalam. Desa-desa lain pun dipisahkan oleh lautan. Jangan tanya sinyal
handphone, listrik saja seringkali mati. Sebuah desa kecil di pesisir pantai,
desa Bibinoi hidup dengan segala kearifan lokalnya. Desa yang selalu
menakjubkan.
Tapi bagaimanapun, aku
harus kembali ke Jakarta. Tugasku disini sudah selesai dan aku harus kembali
mengajar di Jakarta untuk menemani Ibu yang sendirian dirumah. Rekan-rekan guru
dan sebagian masyarakat sudah tahu ikhwal kepulanganku. Anak-anak didikku
sedikit banyak pasti sudah tahu, tak tega rasanya bahkan untuk sekedar menyinggung
kabar kepulanganku yang tak lama lagi pada mereka.
“Ibu tak usah balik
lagi ke Jakarta, torang masih ingin
belajar sama Ibu”
Begitu kata Olan
kemarin. Aku hanya bisa tersenyum dan menjelaskan padanya bahwa mereka masih
tetap bisa belajar tanpaku. Mereka sudah banyak berubah dari sejak pertama kami
bertemu, semakin cakap dalam banyak mata pelajaran. Maryanti kini sudah lancar
membaca, Ikal juga sudah cepat berhitung, dan hei, lihat saja Didi yang terus
semangat untuk bisa lancar menulis, hingga Olan yang berpengetahuan luas dan
pintar sains. Aku menyaksikan sendiri perubahan mereka, sangat menakjubkan.
Meski aku sudah mengajar lebih dari dua tahun, aku baru merasakan menjadi guru
yang sebenarnya disini.
Berawal dari motif
ingin naik pangkat dimana salah satu syaratya adalah harus megabdi di daerah
pelosok selama setahun, kumulai kehidupan di Bibinoi dengan keterpaksaan.
Minggu pertama menjadi minggu terberatku. Kesan pertama mengijakaan kaki disini
langsung mejadi momok menakutkan untuk hidupku setahun kedepan. Bayangkan saja,
tak ada sinyal telepon, berarti tak ada akses internet. Harus naik perahu dulu
kekota jika mau menikmati internet. Listrikpun sering kali mati apalagi saat
hujan deras. Aliran listrik disini memang
belum stabil. Jadi kabel kena angin sedikit saja rawan sekali berimbas
pada matinya aliran listrik.
Kejutan menantang
lainnya adalah kondisi siswa disini yang sungguh jauh berbeda dari pada di Jawa. Ada yang aktifnya kebangetan
hingga yang pasifnya ampun–ampunan. Kekerasan juga sudah lumrah dipakai untuk
mengatasi kenakalan siswa disini. Aku yang keturunan Solo asli lumayan kaget
juga dengan cara guru-guru disini mengajar. Pantas saja anak-anak takut pada
beberapa guru yang sering menggunakan tangan dalam mengatasi kenakalan mereka.
“Disini memang sudah
biasa seperti itu bu Anna, tenang saja mereka sudah terbiasa dengan jewer
ataupun pukulan tongkat karena dirumah pun begitu”. Tutur Pak Jarwo tatkala melihat
kecemasanku melihat Ipan anak kelas V
yang dimarahi sekaligus dipukul Pak Danu karena berkelahi.
Pemandangan hari itu
mengingatkanku untuk bersiap-siap menghadapi anak-anak macam Ipan yang pasti
akan banyak kutemui. Benar saja, sehari setelah itu, anak-anak kelas III, kelas
yang aku pegang, sama sekali tak kondusif. Diawali Rahmat yang menjahili Yanti yang duduk disebelahnya,
disusul Anto yang keluar kelas seenaknya, dan yang lain ikut ribut dengan
kesibukannya masing-masing. Ada yang berebut buku, mainan, hingga tertawa geli
melihat tigkah rekannya. Aku tak dianggap sama sekali. Aku berkali-kali
berteriak dengan suara keras tapi ternyata tak mampu meredakan kekacauan ini. Ingin
sekali menangis rasanya siang itu. Kekacauan reda dan semua anak diam tatkala
aku dengan emosi memuncak dan air mata kesal hampir jatuh memukul papan tulis
dengan penghapus keras sekali.
“Sudah, kalau tara mau belajar ngoni so pulang saja, tara manfaat
ibu ada disini jika ngoni pe perbuatan
seperti itu!” ujarku dengan nada tegas sembari mengemasi buku-buku ajar ku
diatas meja.
Tak kusangka, tiba-tiba
Ikal mendekati meja guru dan minta maaf atas nama teman teman-temannya. Mereka
sukses membuatku terharu dengan menutup pintu kelas rapat-rapat agar aku tak
keluar dan melanjutkan pelajaran.
Aku mulai menikmati kehidupanku
disini sejak kian dekat dengan anak-anak didalam dan diluar kelas. Melihat
kemajuan mereka diberbagai mata pelajaran adalah kebahagian terbesarku sebagai
seorang guru. Kami sering berjalan bersama saat pulang sekolah juga
menghabiskan waktu bersama di pinggir pantai setiap sore. Mereka tak sungkan
bercerita senang sedih mereka padaku. Kedekatan seperti ini yang tak penah
kuraskan saat mengajar di Jawa. mereka begitu polos dan memiliki rasa ingin
tahu yag teramat besar pada apa saja hal-hal baru. Mereka akan terus bertanya hingga puas mengenai sesuatu yang
baru mereka ketahui. Seperti halnya saat mereka melihat handphone yang jatuh
dari tasku. Mereka terus saja bertanya bagaimana menggunakannya hingga aku
kewalahan menjelaskan. Juga saat pertama kali ku ajarkan mereka bahasa Inggris
dikelas. Mereka riang sekali bertanya banyak hal lantas tertawa mendengar
bahasa asing yang mereka tuturkan sendiri terdengar lucu di telinga
mereka.
Betapa bahagianya
seorang guru yang mendapati anak didiknya berhasil. Seperti saat semester lalu
aku mendapati anak-anak didiku mendapat piala kejuaraan pertama kali sejak
sekolah ini berdiri. Mendapat juara 2 lomba cerdas cermat tigkat kabupaten.
Sugguh membanggakan bukan?. Perjuangan
anak-anak mempersiapkan diri mengikuti lomba ini terbayar lunas. Aku siapkan
satu tim berisi empat orang anak, Olan, Ikal, Yanti dan Ami, untuk menghadapi
lomba ini. Setiap hari mereka memperoleh tambahan pelajaran dariku. Kami belajar
dimana saja, kadang dikelas, dirumah tempat aku tinggal, dipinggir pantai,
bahkan diteras masjid. Dan yang menakjubkan lagi tak hanya yang akan lomba yang
mengikuti jam tambahanku, anak-anak lain pun dengan sukarela ikut pelajaran.
Sungguh salut aku pada mereka yang punya semangat tinggi untuk belajar.
Hari ini aku dibuat
marah lagi hingga memaksa tanganku menjewer Didi yang keterlaluan. Ia makan
dikelas saat aku menjelaskan pelajaran. Peringatanku tak digubris sama sekali.
Lalu aku beri dia hukuman menyalin materi pelajaran dibukunya. Tak disangka, ia
malah seenaknya keluar kelas, tak mendengarkanku sama sekali. Spontan ku kejar
dia dan ku jewer telinganya. Sepertinya cukup sakit karena aku memang sekuat
tenaga menjewernya. Ia merntih minta dilepaskan.
“Ngoni balik ke kelas kerjakan apa yang ibu suruh setelah jam pulang
sekolah ngoni ngerti tarada?” kataku padanya dengan penuh
emosi
Lima menit kemudian jam
pelajaran usai. Anak-anak bergegas membereskan buku-bukunya. Aku melotot pada
Didi, menngisyaratkan bahwa ia tak bisa langsung pulang seperti biasa.
Kutunggui Didi menyalin
satu halaman materi yang baru saja aku jelaskan saat ditinggal ia makan tadi.
Dan betapa terkejutnya aku setelah satu jam aku menungguinya menulis ia baru
menyelesaikan satu paragraf. Ternyata Didi yang memang belum lancar menulis dan
membaca tak menunjukkan perkembangan.
Aku sudah berusaha mengirimkan buku bacaan kerumahnya beserta surat
untuk orang tua Didi agar mengajarkannya membaca dan menulis dirumah karena jika
hanya mengandalkan waktu belajar disekolah tentulah belum cukup. Dan belum
lancar membca dan menulis dikelas III tentu menyulitkan sekali untuk memahami
pelajaran yang jendelanya memang dari membaca dan menulis. Rupanya ia tak pernah
sekalipun menuruti anjuranku untuk berlatih dirumah.
“Didi tak pernah
latihan dirumah?”
Ia hanya diam
“Nggoni tahu tarada, kalau
tak lancar membaca dan menulis , ngoni tara naik kelas!. Tara manfaat selama ini ibu ajari jika nggoni
tara mau belajar!”
Didi
hanya terdiam. Lantas pergi begitu saja meniggalkanku dan juga buku-bukunya
dimeja. Aku mematung, tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi anak ini.
Waktuku seminggu lagi.
----------
Pagi ini hujan turun
deras sekali. Enggan rasanya beranjak
dari tempat tidur. Kasur tipis ini mendadak hangat sekali sehangat
mentari pagi, pun selimut yang juga tak kalah tipis sudah seperti selimut
tebalku dirumah. Aku masih terus meringkuk hingga kusadari aku tetap harus
kesekolah, mengajar walau hanya dengan separuh kelas terisi. Aku paham keadaan
anak-anak didiku, mereka pasti banyak yang absen karena hujan pagi ini. Banyak
diantara anak-anak yang jarak rumah ke sekolah cukup jauh dan rata-rata mereka
tak punya baju hangat-sebutlah jaket- untuk meenemani menerobos hujan. Aku
maklum. Setidaknya ada itikad baik dariku bahwa sekolah harus terus berjalan
meski hujan. Bukankah saat aku mengajar di Jawa sudah terbiasa seperti ini?.
Aku sampai disekolah
pukul tujuh lebih sepulu menit, dan ternyata aku menjadi orang pertama yang
datang ke sekolah pagi ini. Mau tak mau harus menunggu. Berharap ada beberapa
anak, juga guru yaang berkenan hadir hari ini. beruntung satu jam kemudian ada
beberapa anak yang datang. Aku putuskan untuk mengajar segelintir anak yang
bahkan tak sampai separu kelas ini.
Tak ku lihat Didi datang pagi ini. Ada rasa bersalah dalam
diriku telah membentaknya kemarin dengan ancaman pula. Ahh mungkin dia tak
masuk karena hujan. Kuakhiri pelajaran hari itu pukul 12 siang. Diluar gerimis
masih enggan pegi.
----------
Hari terakhir mengajar,
sudah lima hari ini Didi tak berangkat sekolah. Aku semakin merasa bersalah. Anak-anak
bilang Didi selalu menghindar jika bertemu mereka. Besok aku pulang ke Jakarta.
Apa iya aku tetap akan meninggalkan masalah pada Didi disini?, aku harus
menemuinya siang segera.
Hari ini sesi tanya
jawab dipenuhi pertanyaan mengapa aku pulang. Susah payah aku menjelaskannya.
“Ibu tara usah pulang ke Jawa, biar bisa
ngajar kitorang terus”. Ujar Maryanti
yang diamini seisi kelas.
Panjang lebar ku
jelaskan pada mereka bahwa aku harus pulang. Tugasku sudah selesai disini. Aku
harus kembali ke sekolah tempat mengajarku dulu di Jakarta. Aku tentunya masih
terdaftar sebagai guru di sekolah itu. Dan alasan yang paling besar
sesungguhnya adalah karena aku tak tega lagi meninggalkan Ibu sendirian
dirumah. Alasan yang terakhir ini tentu saja tak ku katakan pada mereka. Kuakhiri
kelasku dengan beberapa kalimat terimakasih dan maaf. Sungguh mengharukan.
Sepulang sekolah
kulangkahkan kaki kerumah Didi. Jalan berbatu, hampir 1.5 kilometer sukses
membuat kaki ini pegal bukan main. Ditambah matahari yang entah mengapa merasa
perlu lebih lama memanaskan tanah Bibinoi seterik ini. Anak-anak kecil masih
asyik bermain dihalaman rumah mereka, satu dua diteriaki sang ibu untuk makan. Aku
sampai setelah hampir satu jam berjalan.
Kedatanganku di rumah
berdinding semi permanen ini disambut sepi. Kuketuk pintu berkali-kali. Tak ada
jawaban. Panas masih terik, kuputuskan menunggu barang sebentar sembari melepas
lelah. Ada batu sebesar tungku didepan rumah, bisa untuk tempat duduk.
Orang tua Didi mungkin
masih dikebun, tapi kemana Didi pergi? Ia tak berangkat sekolah hari ini. Rumah
ini letaknya di ujung desa, cukup jauh dari rumah-rumah disekitarnya.
Dipisahkan kebun dan tanah lapang. Tak ada tetangga dekat yang bisa kutanyai
kemana Didi pergi.
Tiga puluh menit aku
menunggu, masih tak ada tanda-tanda Didi atau orang tuanya pulang. Saat
kuputuskan hendak pergi, kudengar langkah kaki dari samping rumah. Sontak aku langsung
menuju kesamping rumah, dan hei, ada Didi disana. Begitu melihatku ia mematung
sejenak, lalu lari begitu saja. Rupanya bentakanku waktu itu ia ambil hati.
Susah payah kukejar
Didi. Ia lari melewati jalan sempit disela-sela rumah penduduk. Dan akhirnya,
aku kehilangan jejaknya. Aku tak tahu harus berbuat apa, sekedar berbicara
dengannya saja aku tak bisa. Besok adalah hari kepulanganku.
----------
Semua barang sudah
masuk kedalam tas. Banyak orang yang telah menungguku dihalaman rumah. Anak-anak
SD dan juga warga sekitar. Aku menemui mereka dengan penuh haru. Sudah
terlampau dekat dengan desa ini, dengan
semua kehidupannya. Anak-anak didiku bahkan menangis dan memelukku pagi ini. Aku
semakin tak tega meninggalkan mereka.
Kesan pertama yang tak
mengenakkan memunculkan hikmah tersendiri bagiku, pelajaran hidup yang tak
ternilai harganya. Aku merasakan betapa bahagianya menjadi seorang guru disini.
Merasakan betapa ramah dan pedulinya msyarakat Bibinoi terhadap sesamanya, termasuk pada pendatang baru sepertiku.
Bayangkan saja, saat aku sakit tetangga-tetanggaku disini bergantian
membawakanku makanan setiap hari dan tak henti membujukku untuk ke puskesmas.
Sungguh menyenangkan.
Setelah mengobrol
sebentar dan mengucap salam perpisahan, aku harus segera bersiap dan menuju pinggir
pantai. Perahu yang akan mengantarku ke sebrang sudah menunggu. Semua sudah
kupamiti kecuali Didi. Ahh anak itu, masih ada yang mengganjal bahkan
dimenit—menit akhir aku berada di Bibinoi. Sudah tak mungkin lagi untuk kerumah
Didi dan menemuinya. Aku hanya menitip surat untuknya lewat Olan, dia janji
akan menyampaikan suratku.
Aku sudah menginjakan
kaki kananku ke perahu, saat suara itu memanggilku. Suara yang sudah seminggu
ini tak ku dengar.
“Bu Ann,” Didi berlari
mendekatiku dan langsung memelukku.
“Didi kenapa? Didi
masih arah sama ibu?”
Dia menggeleng,
“Maaf Bu, Ibu benar,
kalau torang tara belajar torang tara naik kelas. Ini untuk Ibu”
Didi menyerahkan padaku
sebuah amplop yang dilem rapi. Aku hendak membukanya, tapi ia melarang.
“Ibu buka kalau sudah
sampai di Jawa ya,” begitu kata Didi.
Aku tak tahu apa
isinya, sesuatu yang spesial pastinya.
“Didi dengar Ibu, Didi
sungguh-sungguh lah belajar membaca dan menulis, sampai mahir, karena dua
kemampuan itu adalah pintu ilmu pengetahuan lain. Didi pasti bisa kalau Didi
mau”. Ia mengangguk.
Aku
memang bahagia dapat hidup dan mengajar
disini. Dapat mengajar di salah satu desa kecil di negeri ini adalah kesempatan
berharga yang menghasilkan pengalaman dan pemahaman baru yang tak akan pernah
kulupakan. Meski akupun lagi-lagi tidak sempurna menjadi guru disini. Aku belum
berhasil mengantar Didi membaca dan
menulis selama disini. Tapi aku berharap ia akan bisa lebih baik sepeninggalku,
dan bahagianya, ia menunjukan kemajuannya pagi ini. Perahu sudah ingin
beranjak, dan gerims mengantarkan kepulanganku.
0 komentar:
Posting Komentar