Sekeping Kisah dari Bibinoi- Cerpen

by 23.41 0 komentar



Sungguh, hati masih ingin tetap tinggal. Kalau saja tidak harus patuh pada peraturan, mungkin tetap bisa untuk bertahan disini barang setahun dua tahun. Tapi aku harus terus menjalankan hidupku. Bukannnya mau bilang disini tidak hidup, atau terasing, meski memang secara geografis bisa dikatakan demikian. Desa ini selain  teramat jauh dari ingar bingar perkotaan, aksesnya hanya bisa ditempuh dengan perjalanan laut. Perlu waktu satu jam untuk menuju kesini  dari pelabuhan Babang di Pulau Bacan, pulau utama Kabupaten Halmahera Selatan yang untuk mencapai ibukota kabupaten ini, diperlukan empat jam perjalanan pesawat ke Ternate dari Jakarta untuk kemudian  naik kapal motor selama semalam. Desa-desa lain pun dipisahkan oleh lautan. Jangan tanya sinyal handphone, listrik saja seringkali mati. Sebuah desa kecil di pesisir pantai, desa Bibinoi hidup dengan segala kearifan lokalnya. Desa yang selalu menakjubkan.
Tapi bagaimanapun, aku harus kembali ke Jakarta. Tugasku disini sudah selesai dan aku harus kembali mengajar di Jakarta untuk menemani Ibu yang sendirian dirumah. Rekan-rekan guru dan sebagian masyarakat sudah tahu ikhwal kepulanganku. Anak-anak didikku sedikit banyak pasti sudah tahu, tak tega rasanya bahkan untuk sekedar menyinggung kabar kepulanganku yang tak lama lagi pada mereka.
“Ibu tak usah balik lagi ke Jakarta, torang masih ingin belajar sama Ibu”
Begitu kata Olan kemarin. Aku hanya bisa tersenyum dan menjelaskan padanya bahwa mereka masih tetap bisa belajar tanpaku. Mereka sudah banyak berubah dari sejak pertama kami bertemu, semakin cakap dalam banyak mata pelajaran. Maryanti kini sudah lancar membaca, Ikal juga sudah cepat berhitung, dan hei, lihat saja Didi yang terus semangat untuk bisa lancar menulis, hingga Olan yang berpengetahuan luas dan pintar sains. Aku menyaksikan sendiri perubahan mereka, sangat menakjubkan. Meski aku sudah mengajar lebih dari dua tahun, aku baru merasakan menjadi guru yang sebenarnya disini.
Berawal dari motif ingin naik pangkat dimana salah satu syaratya adalah harus megabdi di daerah pelosok selama setahun, kumulai kehidupan di Bibinoi dengan keterpaksaan. Minggu pertama menjadi minggu terberatku. Kesan pertama mengijakaan kaki disini langsung mejadi momok menakutkan untuk hidupku setahun kedepan. Bayangkan saja, tak ada sinyal telepon, berarti tak ada akses internet. Harus naik perahu dulu kekota jika mau menikmati internet. Listrikpun sering kali mati apalagi saat hujan deras. Aliran listrik disini memang  belum stabil. Jadi kabel kena angin sedikit saja rawan sekali berimbas pada matinya aliran listrik.
Kejutan menantang lainnya adalah kondisi siswa disini yang sungguh jauh berbeda dari  pada di Jawa. Ada yang aktifnya kebangetan hingga yang pasifnya ampun–ampunan. Kekerasan juga sudah lumrah dipakai untuk mengatasi kenakalan siswa disini. Aku yang keturunan Solo asli lumayan kaget juga dengan cara guru-guru disini mengajar. Pantas saja anak-anak takut pada beberapa guru yang sering menggunakan tangan dalam mengatasi kenakalan mereka.
“Disini memang sudah biasa seperti itu bu Anna, tenang saja mereka sudah terbiasa dengan jewer ataupun pukulan tongkat karena dirumah pun begitu”. Tutur Pak Jarwo tatkala melihat kecemasanku melihat  Ipan anak kelas V yang dimarahi sekaligus dipukul Pak Danu karena berkelahi.
Pemandangan hari itu mengingatkanku untuk bersiap-siap menghadapi anak-anak macam Ipan yang pasti akan banyak kutemui. Benar saja, sehari setelah itu, anak-anak kelas III, kelas yang aku pegang, sama sekali tak kondusif. Diawali Rahmat yang  menjahili Yanti yang duduk disebelahnya, disusul Anto yang keluar kelas seenaknya, dan yang lain ikut ribut dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang berebut buku, mainan, hingga tertawa geli melihat tigkah rekannya. Aku tak dianggap sama sekali. Aku berkali-kali berteriak dengan suara keras tapi ternyata tak mampu meredakan kekacauan ini. Ingin sekali menangis rasanya siang itu. Kekacauan reda dan semua anak diam tatkala aku dengan emosi memuncak dan air mata kesal hampir jatuh memukul papan tulis dengan penghapus keras sekali.
“Sudah, kalau tara mau belajar ngoni so pulang saja, tara manfaat ibu ada disini jika ngoni pe perbuatan seperti itu!” ujarku dengan nada tegas sembari mengemasi buku-buku ajar ku diatas meja.
Tak kusangka, tiba-tiba Ikal mendekati meja guru dan minta maaf atas nama teman teman-temannya. Mereka sukses membuatku terharu dengan menutup pintu kelas rapat-rapat agar aku tak keluar dan melanjutkan pelajaran.
Aku mulai menikmati kehidupanku disini sejak kian dekat dengan anak-anak didalam dan diluar kelas. Melihat kemajuan mereka diberbagai mata pelajaran adalah kebahagian terbesarku sebagai seorang guru. Kami sering berjalan bersama saat pulang sekolah juga menghabiskan waktu bersama di pinggir pantai setiap sore. Mereka tak sungkan bercerita senang sedih mereka padaku. Kedekatan seperti ini yang tak penah kuraskan saat mengajar di Jawa. mereka begitu polos dan memiliki rasa ingin tahu yag teramat besar pada apa saja hal-hal baru. Mereka akan terus  bertanya hingga puas mengenai sesuatu yang baru mereka ketahui. Seperti halnya saat mereka melihat handphone yang jatuh dari tasku. Mereka terus saja bertanya bagaimana menggunakannya hingga aku kewalahan menjelaskan. Juga saat pertama kali ku ajarkan mereka bahasa Inggris dikelas. Mereka riang sekali bertanya banyak hal lantas tertawa mendengar bahasa asing yang mereka tuturkan sendiri terdengar lucu di telinga mereka. 
Betapa bahagianya seorang guru yang mendapati anak didiknya berhasil. Seperti saat semester lalu aku mendapati anak-anak didiku mendapat piala kejuaraan pertama kali sejak sekolah ini berdiri. Mendapat juara 2 lomba cerdas cermat tigkat kabupaten. Sugguh  membanggakan bukan?. Perjuangan anak-anak mempersiapkan diri mengikuti lomba ini terbayar lunas. Aku siapkan satu tim berisi empat orang anak, Olan, Ikal, Yanti dan Ami, untuk menghadapi lomba ini. Setiap hari mereka memperoleh tambahan pelajaran dariku. Kami belajar dimana saja, kadang dikelas, dirumah tempat aku tinggal, dipinggir pantai, bahkan diteras masjid. Dan yang menakjubkan lagi tak hanya yang akan lomba yang mengikuti jam tambahanku, anak-anak lain pun dengan sukarela ikut pelajaran. Sungguh salut aku pada mereka yang punya semangat tinggi untuk belajar.
Hari ini aku dibuat marah lagi hingga memaksa tanganku menjewer Didi yang keterlaluan. Ia makan dikelas saat aku menjelaskan pelajaran. Peringatanku tak digubris sama sekali. Lalu aku beri dia hukuman menyalin materi pelajaran dibukunya. Tak disangka, ia malah seenaknya keluar kelas, tak mendengarkanku sama sekali. Spontan ku kejar dia dan ku jewer telinganya. Sepertinya cukup sakit karena aku memang sekuat tenaga menjewernya. Ia merntih minta dilepaskan.
Ngoni balik ke kelas kerjakan apa yang ibu suruh setelah jam pulang sekolah ngoni ngerti tarada?” kataku padanya dengan penuh emosi
Lima menit kemudian jam pelajaran usai. Anak-anak bergegas membereskan buku-bukunya. Aku melotot pada Didi, menngisyaratkan bahwa ia tak bisa langsung pulang seperti biasa.
Kutunggui Didi menyalin satu halaman materi yang baru saja aku jelaskan saat ditinggal ia makan tadi. Dan betapa terkejutnya aku setelah satu jam aku menungguinya menulis ia baru menyelesaikan satu paragraf. Ternyata Didi yang memang belum lancar menulis dan membaca tak menunjukkan perkembangan.  Aku sudah berusaha mengirimkan buku bacaan kerumahnya beserta surat untuk orang tua Didi agar mengajarkannya membaca dan menulis dirumah karena jika hanya mengandalkan waktu belajar disekolah tentulah belum cukup. Dan belum lancar membca dan menulis dikelas III tentu menyulitkan sekali untuk memahami pelajaran yang jendelanya memang dari membaca dan menulis. Rupanya ia tak pernah sekalipun menuruti anjuranku untuk berlatih dirumah.
“Didi tak pernah latihan dirumah?”
Ia hanya diam
Nggoni tahu tarada, kalau  tak lancar membaca dan menulis , ngoni tara  naik kelas!. Tara manfaat selama ini ibu ajari  jika nggoni tara mau belajar!”
            Didi hanya terdiam. Lantas pergi begitu saja meniggalkanku dan juga buku-bukunya dimeja. Aku mematung, tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi anak ini. Waktuku seminggu lagi.
----------
Pagi ini hujan turun deras sekali. Enggan rasanya beranjak  dari tempat tidur. Kasur tipis ini mendadak hangat sekali sehangat mentari pagi, pun selimut yang juga tak kalah tipis sudah seperti selimut tebalku dirumah. Aku masih terus meringkuk hingga kusadari aku tetap harus kesekolah, mengajar walau hanya dengan separuh kelas terisi. Aku paham keadaan anak-anak didiku, mereka pasti banyak yang absen karena hujan pagi ini. Banyak diantara anak-anak yang jarak rumah ke sekolah cukup jauh dan rata-rata mereka tak punya baju hangat-sebutlah jaket- untuk meenemani menerobos hujan. Aku maklum. Setidaknya ada itikad baik dariku bahwa sekolah harus terus berjalan meski hujan. Bukankah saat aku mengajar di Jawa sudah terbiasa seperti ini?.
Aku sampai disekolah pukul tujuh lebih sepulu menit, dan ternyata aku menjadi orang pertama yang datang ke sekolah pagi ini. Mau tak mau harus menunggu. Berharap ada beberapa anak, juga guru yaang berkenan hadir hari ini. beruntung satu jam kemudian ada beberapa anak yang datang. Aku putuskan untuk mengajar segelintir anak yang bahkan tak sampai separu kelas ini.
Tak ku lihat  Didi datang pagi ini. Ada rasa bersalah dalam diriku telah membentaknya kemarin dengan ancaman pula. Ahh mungkin dia tak masuk karena hujan. Kuakhiri pelajaran hari itu pukul 12 siang. Diluar gerimis masih enggan pegi.
----------
Hari terakhir mengajar, sudah lima hari ini Didi tak berangkat sekolah. Aku semakin merasa bersalah. Anak-anak bilang Didi selalu menghindar jika bertemu mereka. Besok aku pulang ke Jakarta. Apa iya aku tetap akan meninggalkan masalah pada Didi disini?, aku harus menemuinya siang segera.
Hari ini sesi tanya jawab dipenuhi pertanyaan mengapa aku pulang. Susah payah aku menjelaskannya.
“Ibu tara usah pulang ke Jawa, biar bisa ngajar kitorang terus”. Ujar Maryanti yang diamini seisi kelas.
Panjang lebar ku jelaskan pada mereka bahwa aku harus pulang. Tugasku sudah selesai disini. Aku harus kembali ke sekolah tempat mengajarku dulu di Jakarta. Aku tentunya masih terdaftar sebagai guru di sekolah itu. Dan alasan yang paling besar sesungguhnya adalah karena aku tak tega lagi meninggalkan Ibu sendirian dirumah. Alasan yang terakhir ini tentu saja tak ku katakan pada mereka. Kuakhiri kelasku dengan beberapa kalimat terimakasih dan maaf. Sungguh mengharukan.
Sepulang sekolah kulangkahkan kaki kerumah Didi. Jalan berbatu, hampir 1.5 kilometer sukses membuat kaki ini pegal bukan main. Ditambah matahari yang entah mengapa merasa perlu lebih lama memanaskan tanah Bibinoi seterik ini. Anak-anak kecil masih asyik bermain dihalaman rumah mereka, satu dua diteriaki sang ibu untuk makan. Aku sampai setelah hampir satu jam berjalan.
Kedatanganku di rumah berdinding semi permanen ini disambut sepi. Kuketuk pintu berkali-kali. Tak ada jawaban. Panas masih terik, kuputuskan menunggu barang sebentar sembari melepas lelah. Ada batu sebesar tungku didepan rumah, bisa untuk tempat duduk.
Orang tua Didi mungkin masih dikebun, tapi kemana Didi pergi? Ia tak berangkat sekolah hari ini. Rumah ini letaknya di ujung desa, cukup jauh dari rumah-rumah disekitarnya. Dipisahkan kebun dan tanah lapang. Tak ada tetangga dekat yang bisa kutanyai kemana Didi pergi.
Tiga puluh menit aku menunggu, masih tak ada tanda-tanda Didi atau orang tuanya pulang. Saat kuputuskan hendak pergi, kudengar langkah kaki dari samping rumah. Sontak aku langsung menuju kesamping rumah, dan hei, ada Didi disana. Begitu melihatku ia mematung sejenak, lalu lari begitu saja. Rupanya bentakanku waktu itu ia ambil hati.
Susah payah kukejar Didi. Ia lari melewati jalan sempit disela-sela rumah penduduk. Dan akhirnya, aku kehilangan jejaknya. Aku tak tahu harus berbuat apa, sekedar berbicara dengannya saja aku tak bisa. Besok adalah hari kepulanganku.
----------
Semua barang sudah masuk kedalam tas. Banyak orang yang telah menungguku dihalaman rumah. Anak-anak SD dan juga warga sekitar. Aku menemui mereka dengan penuh haru. Sudah terlampau dekat  dengan desa ini, dengan semua kehidupannya. Anak-anak didiku bahkan menangis dan memelukku pagi ini. Aku semakin tak tega meninggalkan mereka.
Kesan pertama yang tak mengenakkan memunculkan hikmah tersendiri bagiku, pelajaran hidup yang tak ternilai harganya. Aku merasakan betapa bahagianya menjadi seorang guru disini. Merasakan betapa ramah dan pedulinya msyarakat Bibinoi terhadap  sesamanya, termasuk pada pendatang baru sepertiku. Bayangkan saja, saat aku sakit tetangga-tetanggaku disini bergantian membawakanku makanan setiap hari dan tak henti membujukku untuk ke puskesmas. Sungguh menyenangkan.
Setelah mengobrol sebentar dan mengucap salam perpisahan, aku harus segera bersiap dan menuju pinggir pantai. Perahu yang akan mengantarku ke sebrang sudah menunggu. Semua sudah kupamiti kecuali Didi. Ahh anak itu, masih ada yang mengganjal bahkan dimenit—menit akhir aku berada di Bibinoi. Sudah tak mungkin lagi untuk kerumah Didi dan menemuinya. Aku hanya menitip surat untuknya lewat Olan, dia janji akan menyampaikan suratku.
Aku sudah menginjakan kaki kananku ke perahu, saat suara itu memanggilku. Suara yang sudah seminggu ini tak ku dengar.
“Bu Ann,” Didi berlari mendekatiku dan langsung memelukku.
“Didi kenapa? Didi masih arah sama ibu?”
Dia menggeleng,
“Maaf Bu, Ibu benar, kalau torang tara belajar torang tara naik kelas. Ini untuk Ibu”
Didi menyerahkan padaku sebuah amplop yang dilem rapi. Aku hendak membukanya, tapi ia melarang.
“Ibu buka kalau sudah sampai di Jawa ya,” begitu kata Didi.
Aku tak tahu apa isinya, sesuatu yang spesial pastinya.
“Didi dengar Ibu, Didi sungguh-sungguh lah belajar membaca dan menulis, sampai mahir, karena dua kemampuan itu adalah pintu ilmu pengetahuan lain. Didi pasti bisa kalau Didi mau”. Ia mengangguk.
Aku memang bahagia dapat hidup dan  mengajar disini. Dapat mengajar di salah satu desa kecil di negeri ini adalah kesempatan berharga yang menghasilkan pengalaman dan pemahaman baru yang tak akan pernah kulupakan. Meski akupun lagi-lagi tidak sempurna menjadi guru disini. Aku belum berhasil mengantar Didi  membaca dan menulis selama disini. Tapi aku berharap ia akan bisa lebih baik sepeninggalku, dan bahagianya, ia menunjukan kemajuannya pagi ini. Perahu sudah ingin beranjak, dan gerims mengantarkan kepulanganku.

warnakata

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar