Dewa benar-benar tak mau sekolah lagi
mulai hari ini. Ia masih menenggelamkan diri dalam selimut Superman nya. Mama Dela yang sedari tadi
menggoncang-goncangkan tubuhnya dan tak kunjung mampu membuatnya beranjak dari
tempat tidur mulai kehilangan kesabaran.
Selimut bergambar Superman itu ditariknya hendak disingkapkan, Dewa
menahan sekuat tenaga dengan tangan mungilnya namun apa daya ia tetap kalah
kuat dengan Mama Dela.
“Dewa ayo bangun! kamu harus sekolah
sayang.”
“Aku masih ngantuk mah,” ujarnya sembari
menarik kembali selimutnya. “Aku ga mau sekolah.”
“Makanya, kalau disuruh tidur itu nurut.
Disuruh tidur awal ga mau ya gini. Kamu mau sama siapa kalau ga sekolah? Mamah
ke kantor sampai sore hari ini.”
Dewa merutuk dalam hati, memangnya
pernah mama pulang sebelum sore. Sebenarnya Dewa tak mau sekolah bukan
benar-benar karena ngantuk, ia hanya bosen
seharian disekolah terus. Semua serba
diatur, dibatasi. Dewa capek. Ia ingin melakukan apapun yang ia suka tanpa ada
yang bilang tidak boleh!
“Aku dirumah saja, sendiri!” teriaknya
dari dalam selimut.
Mama Dela tak bisa berbuat apa-apa. Dewa
memang keras kepala kadang-kadang. Ia membiarkan Dewa dirumah hari itu. Dia
akan minta tolong tukang cuci yang biasa kerumah untuk juga mengawasi Dewa hari
ini.
Mama Dela mau tak mau memang harus
menitipkan putranya di sekolah yang sekaligus penitipan anak atas nama karier.
Pekerjaan menuntutnya untuk stand by di
kantor dari pagi hingga sore bahkan jika dulu sebelum Dewa lahir ia sering lembur.
Namun setelah ada Dewa naluri keibuannya tak kuasa lagi mengambil lembur, dan
kalaupun lembur berarti ada hal yang mendesak sekali.
Dari umur satu setengah tahun Dewa sudah
ia titipkan hingga kini umurnya sudah menginjak empat tahun. Ia akan berada di sekolah dari
jam 7 hingga 5 sore. Dewa sebenarnya tipe anak yang cukup patuh terlebih jika
sudah digertak sedikit. Namun entah
kenapa akhir-akhir ini Dewa mulai sering merajuk tak mau sekolah dan sulit jika
disuruh tidur awal. Dewa belum akan tidur jika papanya yang seorang pengusaha
sukses itu belum pulang. Padahal papanya pulang jam sembilan, sepuluh, bahkan
sebelas malam.
Mama Dela mencoba membayar setiap
kebersamaan yang harus dikorbankan bersama Dewa di setiap akhir pekan. Ia
mengajak Dewa jalan-jalan dan membelikan semua kebutuhan Dewa dengan baik.
Namun agaknya Dewa tak menikmati apa yang ia berikan. Pernah suatu kali saat
jalan-jalan di mall ia meminta Dewa memilih sepatu yang Dewa suka. Namun betapa
terkejutnya Mama Dela saat Dewa melepas sepatu yang dipakainya lalu menaruhnya
disamping sepatu yang Mama Dela sodorkan. Dengan menunjuk sepatu miliknya itu
Dewa jawab “Aku pilih ini mah”.
Mama Dela tidak habis pikir dengan
tingkah anaknya itu. Di lain kesempatan ia juga menawarkan pada Dewa beberapa
baju dan mainan. Namun Dewa hanya menggeleng dan minta pulang.
Hari ini rumah sepi sekali. Hanya ada
Dewa dan Mbak Ninik yang sedang sibuk mencuci dibelakang. Dewa suka mengambar,
ia akan banyak menghabiskan waktu menggambar dirumah seperti pagi ini. Semua
peralatan menggambar diangkutnya ke meja kecil di ruang tengah. Dengan
beralaskan karpet bulu tebal impor yang dibeli papanya, ia mulai sibuk
menggambar di ruangan besar itu. Ditemani permen coklat kesukaannnya crayon di
tangan mungilnya menari-nari.
Belum juga selesai satu gambar, Dewa sudah
ingin beranjak, mungkin bosan, atau ada perasaan lain yang tak mampu ia
jelaskan. Ia beralih ke halaman belakang rumah dan meninggalkan peralatan
menggambarnya berserakan di meja di lantai. Beberapa mobil-mobilan koleksinya
ia bawa serta. Dewa memilih duduk
dibawah pohon mangga besar yang cukup rimbun. Beralaskan rumput teki yang masih
terasa agak basah sisa hujan semalam ia melihat sekeliling, tak ada siapa pun
kecuali Mbak Ninik yang sedang menjemur pakaian di pojok halaman dan sesekali memperahatikannya. Ia
mulai merangkak-rangkak memainkan mobilnya. Mulutnya mengeram menjadi deru
mobil.
Tiba-tiba ia punya ide. Teringat akan
idolanya Superman, Dewa membuat sekenario sendiri. Ia berlari ke ke teras. Diambilnya
taplak meja merah yang terpasang dimeja teras dan kembali lagi ke halaman
belakang rumah dengan mendekap bantal besar yang ia ambil diruang tengah. Bantal
itu ia perankan sebagai nenek tua yang
hampir tertabrak mobil. Salah satu sisi taplak meja itu ia ikat ke leher sehingga mirip Superman. Setelah
mobil-mobilannya diluncurkan dengan kecepatan tinggi ia belari kencang. Kain
taplak meja yang dikenakkannya dikibar-kibarkan, menunjukkan bahwa Dewa sedang
terbang untuk sampai ditempat nenek itu. Sepersekian detik saja ia terlambat,
nenek itu pasti sudah ditabrak mobil. Untunglah, Dewa si Superman berhasil
membawa nenek itu terbang dan menurunkannya di seberang jalan.
Dewa terlihat asyik sekali bermain dan
sibuk dengan dirinya sendiri. Mbak Ninik hanya geleng-geleng kepala melihat
aksi heroik Dewa sembari berpikir bagaimana membersihkan bantal besar itu
karena pasti akan menjadi tambahan pekerjaannya besok.
Hari mulai terik, Mbak Ninik mendekati Dewa membawakannya makan. Dewa pun
nyengir dan baru ingat kalau dirinya lapar sedari tadi. Ia menghentikan
permainannya melahap nasi yang disuapi Mbak Ninik.
“Mbak Ninik kenapa masih disini? Nyuci
bajunya kan udah selesai.” tanya Dewa tiba-tiba.
“Lha kalau Mbak Ninik pulang mas Dewa
sama siapa? Mama Dela kan belum pulang,”
“Terus Riki dirumah sama siapa mbak?”
tanya nya lagi
"Sendiri, kan udah biasa begitu.
Paling juga main kerumah neneknya.”
“Mbak pulang saja,” Dewa mengambil
piring di tangan Mbak Nanik “Kasian Riki ditinggal terus”
Mbak Ninik melongo. Ia kagum dengan
Dewa, anak sekecil ini sudah bisa
berkata seperti itu. Tentu saja ia tak mau beranjak, bisa repot urusan kalau ia
meninggalkan Dewa sendiri. Namun Dewa tak menyerah menyuruh mbak Ninik pulang
hingga menangis dan mengancam akan pergi saja kalau mbak Ninik tidak pulang.
Mbak Ninik tak kuasa lagi menenangkan Dewa, ia tak punya pilihan lain selain
menurutinya.
Dewa tidak melanjutkan makannya
sepeninggal Mbak Ninik. Ia termenung sendiri di halaman belakang sambil bermain
tanah. Dewa sedih, juga bosan. Andai dia bisa mengungkapkan jika dia butuh Mama
Dela lebih lama lagi. Bukannya baju baru, sepatu baru. Namun rupanya Mama Dela
tak menyadari apa yang sebenrnya diinginkan Dewa. Ia mengira dengan mencukupi,
bahkan lebih, semua kebutuhan putranya ia dapat mengganti waktu yang seharusnya
untuk menemani Dewa.
Tepat jam lima sore Mama Dela pulang. Ia
membawakan banyak makanan untuk Dewa. Berharap besok Dewa mau sekolah. Betapa
kagetnya saat ia pulang tak mendapati Mbak Ninik dirumah. Hanya Dewa sendiri,
anak berumur empat tahun sendirian dirumah sebesar itu. Tentu saja Mama Dela
marah dan hendak menghubungi Mbak Nanik saat Dewa merebut telepon genggamnya.
“Dewa yang suruh Mbak Ninik pulang mah,” aku Dewa “Kasihan
Riki sendirian dirumah.”
Riki adalah anak Mbak Nanik. Umurnya
hampir sama dengan Dewa, hanya berjarak dua bulan dengan Dewa yang lebih dahulu
lahir. Mendengar pengakuan anaknya, Mama Dela justru marah-marah. Mungkin
ekspresi kekhawatiran seorang ibu yang mengetahui anak kecilnya sendiri
dirumah. Bisa saja Dewa keluar hingga ke jalan raya depan rumah yang ramenya
bukan main. Bisa juga Dewa menonton acara televisi yang buruk bagi anak
seusianya, juga kemungkinan buruk lain jika seorang anak kecil dirumah
sendirian.
Jadilah Dewa dimarahi Mama Dela. Hampir
saja ia mencubit lengan anaknya saat suaminya pulang dan mendengar keributan
itu.
“Ada apa sih ma?” tanya suaminya tak
mengerti
Mama Dela menghela nafas panjang dan
masuk ke kamar, “Tanya tuh sama Dewa!”
Suaminya hanya geleng-geleng kepala,
“Dewa jangan nakal lagi ya, oke sayang?!”
Dewa cemberut dan langsung lari ke ruang
tengah. Ia menenggelamkan diri di sofa empuk favoritnya dan menangis. Mama
papanya? Sibuk saling menyalahkan dikamar.
Dewa masih bertahan dengan posisinya di
sofa. Air matanya memang sudah berhenti, namun tangis dihatinya masih terus tak
terbendung. Kemarin, sekarang, dan mungkin seterusnya. Melihat orang tuanya tak
kunjung berubah, terus sibuk dengan urusan masing-masing, sepertinya Dewa
kehilangan harapan untuk dapat bahagia. Sekali lagi, andai seorang anak berumur
empat tahun seperti dirinya bisa menjelaskan dengan bahasa yang mudah
dimengerti orang dewasa yang kesibukannya selangit.
Dinginnya malam mulai menyelimuti hari,
tak terkecuali hati Dewa. Ia tambah bingung dengan keadaan ini. Hatinya capek,
begitu juga fisiknya. Pegal juga ternyata kelamaan tengkurap di sofa apalagi
tadi ia bermain seharian. Namun semua rasa itu ia lupakan ketika mendengar
langkah kaki mama papanya turun dari kamar. Tubuh mungilnya langsung menjangkau
crayon dan duduk manis seperti tadi pagi. Ia melanjutkan gambarnya yang baru
setengah jadi.
“Lagi gambar apa sayang?” tanya mama
Dela yang telah berubah lunak
“Gambar bebek Ma,” jawabnya santai
Lalu ruangan itu lengang cukup lama. Tak
ada satupun yang berbicara. Dan Dewa menikmati momen ini. Akhirnya ia bisa
merasa nyaman. Menarikan crayon diatas kertas gambarnya ditemani mama papanya.
Dewa begitu saja melupakan apa yang baru saja terjadi. Andai saja ia bisa
merasakan seperti ini setiap hari.
“Boleh Papa lihat gambarnya?” Papa
membuka pembicaraan setelah cukup lama mereka terdiam.
“Boleh,” sambil menyodorkan gambar
buatanya “Lihat nih pah, bebek aja kemana-mana bareng-bareng, masa kita
enggak?” ujar Dewa polos.
Papa dan Mama Dela terdiam. Mereka
saling bertatapan. Seperti baru mengerti bahwa yang dibutuhkan Dewa sederhana
saja, hanya bersama mereka dan bukannya kebutuhan materi yang berlebih. Bahwa
perhatian, kasih sayang di dalam kebersamaan tak akan pernah terbeli oleh uang.
Hari ini tangan dan bibir mungil Dewa
membuat mereka sadar. Kebersamaan keluarga tak semestinya tergadai oleh janji
materi berlimpah. Mata Mama Dela berkaca-kaca. Mungkin mulai sekarang dia akan
mempertimbangkan kelanjutan kariernya.
0 komentar:
Posting Komentar