Temani Aku- cerpen

by 19.41 0 komentar



Dewa benar-benar tak mau sekolah lagi mulai hari ini. Ia masih menenggelamkan diri dalam selimut Superman nya.  Mama Dela yang sedari tadi menggoncang-goncangkan tubuhnya dan tak kunjung mampu membuatnya beranjak dari tempat tidur mulai kehilangan kesabaran.  Selimut bergambar Superman itu ditariknya hendak disingkapkan, Dewa menahan sekuat tenaga dengan tangan mungilnya namun apa daya ia tetap kalah kuat dengan Mama Dela.
“Dewa ayo bangun! kamu harus sekolah sayang.”
“Aku masih ngantuk mah,” ujarnya sembari menarik kembali selimutnya. “Aku ga mau sekolah.”
“Makanya, kalau disuruh tidur itu nurut. Disuruh tidur awal ga mau ya gini. Kamu mau sama siapa kalau ga sekolah? Mamah ke kantor sampai sore hari ini.”
Dewa merutuk dalam hati, memangnya pernah mama pulang sebelum sore. Sebenarnya Dewa tak mau sekolah bukan benar-benar karena ngantuk, ia  hanya bosen seharian disekolah terus. Semua  serba diatur, dibatasi. Dewa capek. Ia ingin melakukan apapun yang ia suka tanpa ada yang bilang tidak boleh!
“Aku dirumah saja, sendiri!” teriaknya dari dalam selimut.
Mama Dela tak bisa berbuat apa-apa. Dewa memang keras kepala kadang-kadang. Ia membiarkan Dewa dirumah hari itu. Dia akan minta tolong tukang cuci yang biasa kerumah untuk juga mengawasi Dewa hari ini.
Mama Dela mau tak mau memang harus menitipkan putranya di sekolah yang sekaligus penitipan anak atas nama karier. Pekerjaan menuntutnya untuk stand by di kantor dari pagi hingga sore bahkan jika dulu sebelum Dewa lahir ia sering lembur. Namun setelah ada Dewa naluri keibuannya tak kuasa lagi mengambil lembur, dan kalaupun lembur berarti ada hal yang mendesak sekali.
Dari umur satu setengah tahun Dewa sudah ia titipkan hingga kini umurnya sudah menginjak  empat tahun. Ia akan berada di sekolah dari jam 7 hingga 5 sore. Dewa sebenarnya tipe anak yang cukup patuh terlebih jika sudah digertak sedikit.  Namun entah kenapa akhir-akhir ini Dewa mulai sering merajuk tak mau sekolah dan sulit jika disuruh tidur awal. Dewa belum akan tidur jika papanya yang seorang pengusaha sukses itu belum pulang. Padahal papanya pulang jam sembilan, sepuluh, bahkan sebelas malam.
Mama Dela mencoba membayar setiap kebersamaan yang harus dikorbankan bersama Dewa di setiap akhir pekan. Ia mengajak Dewa jalan-jalan dan membelikan semua kebutuhan Dewa dengan baik. Namun agaknya Dewa tak menikmati apa yang ia berikan. Pernah suatu kali saat jalan-jalan di mall ia meminta Dewa memilih sepatu yang Dewa suka. Namun betapa terkejutnya Mama Dela saat Dewa melepas sepatu yang dipakainya lalu menaruhnya disamping sepatu yang Mama Dela sodorkan. Dengan menunjuk sepatu miliknya itu Dewa jawab “Aku pilih ini mah”.
Mama Dela tidak habis pikir dengan tingkah anaknya itu. Di lain kesempatan ia juga menawarkan pada Dewa beberapa baju dan mainan. Namun Dewa hanya menggeleng dan minta pulang.
Hari ini rumah sepi sekali. Hanya ada Dewa dan Mbak Ninik yang sedang sibuk mencuci dibelakang. Dewa suka mengambar, ia akan banyak menghabiskan waktu menggambar dirumah seperti pagi ini. Semua peralatan menggambar diangkutnya ke meja kecil di ruang tengah. Dengan beralaskan karpet bulu tebal impor yang dibeli papanya, ia mulai sibuk menggambar di ruangan besar itu. Ditemani permen coklat kesukaannnya crayon di tangan mungilnya menari-nari.
Belum juga selesai satu gambar, Dewa sudah ingin beranjak, mungkin bosan, atau ada perasaan lain yang tak mampu ia jelaskan. Ia beralih ke halaman belakang rumah dan meninggalkan peralatan menggambarnya berserakan di meja di lantai. Beberapa mobil-mobilan koleksinya ia bawa serta.  Dewa memilih duduk dibawah pohon mangga besar yang cukup rimbun. Beralaskan rumput teki yang masih terasa agak basah sisa hujan semalam ia melihat sekeliling, tak ada siapa pun kecuali Mbak Ninik yang sedang menjemur pakaian di pojok  halaman dan sesekali memperahatikannya. Ia mulai merangkak-rangkak memainkan mobilnya. Mulutnya mengeram menjadi deru mobil.
Tiba-tiba ia punya ide. Teringat akan idolanya Superman, Dewa membuat sekenario sendiri. Ia berlari ke ke teras. Diambilnya taplak meja merah yang terpasang dimeja teras dan kembali lagi ke halaman belakang rumah dengan mendekap bantal besar yang ia ambil diruang tengah. Bantal itu ia perankan sebagai  nenek tua yang hampir tertabrak mobil. Salah satu sisi taplak meja itu ia  ikat ke leher sehingga mirip Superman. Setelah mobil-mobilannya diluncurkan dengan kecepatan tinggi ia belari kencang. Kain taplak meja yang dikenakkannya dikibar-kibarkan, menunjukkan bahwa Dewa sedang terbang untuk sampai ditempat nenek itu. Sepersekian detik saja ia terlambat, nenek itu pasti sudah ditabrak mobil. Untunglah, Dewa si Superman berhasil membawa nenek itu terbang dan menurunkannya di seberang jalan.
Dewa terlihat asyik sekali bermain dan sibuk dengan dirinya sendiri. Mbak Ninik hanya geleng-geleng kepala melihat aksi heroik Dewa sembari berpikir bagaimana membersihkan bantal besar itu karena pasti akan menjadi tambahan pekerjaannya besok.
Hari mulai terik, Mbak Ninik  mendekati Dewa membawakannya makan. Dewa pun nyengir dan baru ingat kalau dirinya lapar sedari tadi. Ia menghentikan permainannya melahap nasi yang disuapi Mbak Ninik.
“Mbak Ninik kenapa masih disini? Nyuci bajunya kan udah selesai.” tanya Dewa tiba-tiba.
“Lha kalau Mbak Ninik pulang mas Dewa sama siapa? Mama Dela kan belum pulang,”
“Terus Riki dirumah sama siapa mbak?” tanya nya lagi
"Sendiri, kan udah biasa begitu. Paling juga main kerumah neneknya.”
“Mbak pulang saja,” Dewa mengambil piring di tangan Mbak Nanik “Kasian Riki ditinggal terus”
Mbak Ninik melongo. Ia kagum dengan Dewa,  anak sekecil ini sudah bisa berkata seperti itu. Tentu saja ia tak mau beranjak, bisa repot urusan kalau ia meninggalkan Dewa sendiri. Namun Dewa tak menyerah menyuruh mbak Ninik pulang hingga menangis dan mengancam akan pergi saja kalau mbak Ninik tidak pulang. Mbak Ninik tak kuasa lagi menenangkan Dewa, ia tak punya pilihan lain selain menurutinya.
Dewa tidak melanjutkan makannya sepeninggal Mbak Ninik. Ia termenung sendiri di halaman belakang sambil bermain tanah. Dewa sedih, juga bosan. Andai dia bisa mengungkapkan jika dia butuh Mama Dela lebih lama lagi. Bukannya baju baru, sepatu baru. Namun rupanya Mama Dela tak menyadari apa yang sebenrnya diinginkan Dewa. Ia mengira dengan mencukupi, bahkan lebih, semua kebutuhan putranya ia dapat mengganti waktu yang seharusnya untuk menemani Dewa.
Tepat jam lima sore Mama Dela pulang. Ia membawakan banyak makanan untuk Dewa. Berharap besok Dewa mau sekolah. Betapa kagetnya saat ia pulang tak mendapati Mbak Ninik dirumah. Hanya Dewa sendiri, anak berumur empat tahun sendirian dirumah sebesar itu. Tentu saja Mama Dela marah dan hendak menghubungi Mbak Nanik saat Dewa merebut telepon genggamnya.
“Dewa yang suruh  Mbak Ninik pulang mah,” aku Dewa “Kasihan Riki sendirian dirumah.”
Riki adalah anak Mbak Nanik. Umurnya hampir sama dengan Dewa, hanya berjarak dua bulan dengan Dewa yang lebih dahulu lahir. Mendengar pengakuan anaknya, Mama Dela justru marah-marah. Mungkin ekspresi kekhawatiran seorang ibu yang mengetahui anak kecilnya sendiri dirumah. Bisa saja Dewa keluar hingga ke jalan raya depan rumah yang ramenya bukan main. Bisa juga Dewa menonton acara televisi yang buruk bagi anak seusianya, juga kemungkinan buruk lain jika seorang anak kecil dirumah sendirian.
Jadilah Dewa dimarahi Mama Dela. Hampir saja ia mencubit lengan anaknya saat suaminya pulang dan mendengar keributan itu.
“Ada apa sih ma?” tanya suaminya tak mengerti
Mama Dela menghela nafas panjang dan masuk ke kamar, “Tanya tuh sama Dewa!”
Suaminya hanya geleng-geleng kepala, “Dewa jangan nakal lagi ya, oke sayang?!”
Dewa cemberut dan langsung lari ke ruang tengah. Ia menenggelamkan diri di sofa empuk favoritnya dan menangis. Mama papanya? Sibuk saling menyalahkan dikamar.
Dewa masih bertahan dengan posisinya di sofa. Air matanya memang sudah berhenti, namun tangis dihatinya masih terus tak terbendung. Kemarin, sekarang, dan mungkin seterusnya. Melihat orang tuanya tak kunjung berubah, terus sibuk dengan urusan masing-masing, sepertinya Dewa kehilangan harapan untuk dapat bahagia. Sekali lagi, andai seorang anak berumur empat tahun seperti dirinya bisa menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti orang dewasa yang kesibukannya selangit.
Dinginnya malam mulai menyelimuti hari, tak terkecuali hati Dewa. Ia tambah bingung dengan keadaan ini. Hatinya capek, begitu juga fisiknya. Pegal juga ternyata kelamaan tengkurap di sofa apalagi tadi ia bermain seharian. Namun semua rasa itu ia lupakan ketika mendengar langkah kaki mama papanya turun dari kamar. Tubuh mungilnya langsung menjangkau crayon dan duduk manis seperti tadi pagi. Ia melanjutkan gambarnya yang baru setengah jadi.
“Lagi gambar apa sayang?” tanya mama Dela yang telah berubah lunak
“Gambar bebek Ma,” jawabnya santai
Lalu ruangan itu lengang cukup lama. Tak ada satupun yang berbicara. Dan Dewa menikmati momen ini. Akhirnya ia bisa merasa nyaman. Menarikan crayon diatas kertas gambarnya ditemani mama papanya. Dewa begitu saja melupakan apa yang baru saja terjadi. Andai saja ia bisa merasakan seperti ini setiap hari.
“Boleh Papa lihat gambarnya?” Papa membuka pembicaraan setelah cukup lama mereka terdiam.
“Boleh,” sambil menyodorkan gambar buatanya “Lihat nih pah, bebek aja kemana-mana bareng-bareng, masa kita enggak?” ujar Dewa polos.
Papa dan Mama Dela terdiam. Mereka saling bertatapan. Seperti baru mengerti bahwa yang dibutuhkan Dewa sederhana saja, hanya bersama mereka dan bukannya kebutuhan materi yang berlebih. Bahwa perhatian, kasih sayang di dalam kebersamaan tak akan pernah terbeli oleh uang.
Hari ini tangan dan bibir mungil Dewa membuat mereka sadar. Kebersamaan keluarga tak semestinya tergadai oleh janji materi berlimpah. Mata Mama Dela  berkaca-kaca. Mungkin mulai sekarang dia akan mempertimbangkan kelanjutan kariernya.

warnakata

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar