Jatah liburan sekolah tersisa satu minggu lagi.
Aktivitasku cukup padat liburan ini karena harus membantu ibu menebang dan
memotong bambu bakal keranjang anyaman yang akan dijual dipasar. Ibuku adalah
seorang pembuat perabotan dari ayaman bambu. Tanganya begitu lihai membuat
besek (tempat nasi yang biasa digunakan untuk hajatan), wakul (tempat nasi juga
tapi ini digunakan sehari-hari dirumah), eblek (betuknya bulat besar, biasanya
digunakan untuk nepleki/ memisahkan
beras dari kotoran yang tercampur) hingga kipas (kalian pasti tahu yang ini).
Jika ada yang pesan, Ibuku juga siap membuat kepang, semacam tikar lebar dan panjang untuk menjemur padi. Semua
perabotan itu dijual di pasar kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari desa.
Paling cepat satu jam dengan naik angkutan desa yang hanya ada di jam-jam
tertentu, pagi jam setengah enam, siang
jam duabelas dan sore jam empat, itupun
kalau mobilnya tidak rewel.
Ibu kepasar di hari pasaran Pon dan Wage. Hampir
setiap hari pasaran itu aku ikut berjualan selepas sekolah. Aku masih kelas 2
SMA, letak sekolahku tak terlalu jauh dengan pasar tempat ibu berjualan. Hanya
cukup berjalan 15 menit dari sekolah. Jangan kau kira ibu punya kios, sewa kios
mahal katanya. Ibu berjualan cukup dengan payung besar dipinggir jalan. Barang
dagangan yang belum laku dititipkan di toko kelontong milik teman ibu semasa
sekolah dasar dulu yang berada tak jauh dari tempat ibu jualan.
Meski harus
kepanasan jika matahari terik, atau kena tampias ketika hujan turun, menemani
ibu berjualan adalah hal yang kusukai. Adalah Lek Dun, pedagang dawet ayu yang
biasa berjualan disebelah ibu. Lek Dun pandai menghibur orang dengan
celetukan-celetukannya. Ia juga pandai bercerita. Aku banyak belajar dari
cerita-cerita penuh hikmah yang ia sampaikan dengan mengesankan sambil melayani
pembeli. Mulai dari cerita sederhana sehari-hari yang entah nyata atau ia
bumbui dan bahkan dibuat-buat sekadar
untuk menghibur, hingga cerita sahabat nabi yang dibawakan dengan ringan olehnya.
Seperti kisah Rasulullah yang selepas shalat subuh
menanyai sahabat-sahabatnya. Ada tiga pertanyaan. Yang pertama, siapa yang hari
itu berpuasa. Maka tampillah Abu Bakar yang menjawab bahwa beliau puasa. Lalu pertanyaan kedua,
siapa yang sudah bersedekah hari ini. Ternyata
hal ini pun sudah dilakukan oleh Abu Bakar saat sahabat lain beralasan
hari masih subuh dan mereka belum sempat
bersedekah. Hingga pertanyaan ketiga, yakni siapakah yang sudah menjenguk
sahabatnya yang sakit hari ini, maka lagi-lagi Abu Bakar yang sudah
melakukannya disela-sela perjalannan menuju masjid. Betapa tak ada yang
mengalahkan semangat ibadah Abu Bakar. Bahkan Umar bin Khatab pun mengakui
bahwa ia tak pernah bisa mengungguli Abu Bakar menjadi orang pertama yang
melakukan kebaikan.
Dari sekian banyak cerita yang kudengar dari Lek
Dun, mulai dari cerita bohong hingga cerita nyatanya, cerita inilah yang
kugenggam baik-baik dalam benakku.
Aku juga suka memerhatikan sekeliling saat menemani
ibu berjualan. Memperhatikan lalu lalang orang belanja atau sekedar jalan-jalan
sambil berlagak menawar harga sana sini padahal tak berniat membeli sama
sekali. Memperhatikan betapa sibuknya kuli angkut mondar-mandir dan sesekali
berebut pelanggan, suara lantang tukang parkir mengarahkan kendaraan, hingga
pemasok yang matanya tak bisa tenang melotot kesana kemari dan tentu saja
penjual di sepanjang jalan yang tak lelah menawarkan dagangan pada setiap yang
lewat hingga kadang sampai menarik pelanggan agar mendekat-kebangetan tuh penjual-
untuk kemudian membahasnya dengan Lek Dun dan tertawa
terpingkal-pingkal. Ibu yang melihat tingkah kami hanya bisa geleng-geleng
kepala dan sesekali menjewer kupingku yang lebih banyak bercandanya dari pada
membantu ibu.
Karena masih libur sekolah, hari ini aku menemani
ibu berjualan dipasar sedari pagi. Lebih karena banyak anyaman yang harus
dibawa dari rumah jadi aku diajak. Namun entah mengapa hari ini pasar sepi
sekali. Lek Dun juga tak jualan. Ibu memutuskan pulang lebih awal dari pasar.
Aku sih nurut-nurut saja, pasar sepi lama-lama bikin bosan juga.
Saat masuk desa
samar-samar terdengar riuh rendah pertunjukan tari Jathilan. Hari ini
desaku dikunjungi oleh kepala dinas perhutani provinsi yang akan meninjau
langsung perkebunan tebu yang berada persis di desa ini. Kedatangannya
disambut antusias oleh warga yang
jarang-jarang bertemu pejabat. Mungkin baru pertama kali ini desaku dikunjungi pejabat sejak puluhan tahun
lalu dikunjungi oleh gubernur entah meninjau apa. Kedatangan kepala dinas
beserta rombongannya disambut dengan kesenian tradisional Jathilan, sebuah tari
kreasi yang diiringi dengan gamelan dan kental akan isu-isu mistik dalam
pagelarannya. Rencananya pak kepala dinas akan menginap malam ini di rumah pak
lurah. Aku tak tahu persis apa yang dilakukan pak kepala dinas di desa ini. Tak
hanya karena tak tertarik, tapi dirumah sudah banyak bambu menunggu untuk
dipotong.
Matahari mulai menggantung di kaki langit. Adzan
Magrib baru saja berkumandang memecah sunyinya senja di desaku. Otomatis
kuhentikan kegiatan memotong bambu sebagai bahan ibuku menganyam keranjang. Aku
bergegas ke masjid desa yang berada diujung gang. Sekitar 200 meter dari rumah,
tak sampai lima menit aku berjalan kaki menujunya. Sampai di masjid ada Pak
Ali, sang takmir masjid dan Mbah Joyo yang biasa menjadi imam shalat serta
sekitar tujuh orang lain yang umumnya adalah para tetua di desa. Kebanyakaan
jamaah di masjid ini adalah bapak-bapak dan simbah-simbah.
Anak muda disini kebanyaakan merantau ke kota, tinggal beberapa pemuda saja
yang tinggal disini dan mereka tak biasa ke masjid. Masih terlalu sibuk
nongkrong di perempatan jalan. Aku juga
seumuran mereka, tapi sama sekali tak beminat ikut-ikut kegiatan tak jelas itu.
Semua jamaah sudah rapi mengambil posisinya
masing-masing dishaf pertama. Melihat masih ada ruang untuk seorang lagi di
shaf pertama, langung saja kutempati tanpa pikir panjang. Baru saja aku duduk
beberapa orang datang dan memenuhi shaf kedua. Beberapa menit kemudian
datanglah kepala dinas beserta dua orang rekannya, pak lurah, dan bapak. Bapak
adalah salah satu staf balai desa yang sedari pagi mengikuti kegaiatan kepala
dinas. Melihat sang kepala dinas datang, entah mengapa bapak-bapak di shaf
kedua bergeser mundur, memberikan tempatnya untuk sang kepala dinas dan
rombongan. Kulihat bapak juga mempersilahkan pak kepala dinas untuk kedepan
dengan mengacungkan jempol kanannya kearah depan, keramahan kas orang Jawa.
Melihatku berada di shaf pertama, bapak memberi
isyarat untuk mundur dan memberikan tempat yang telah kududuki untuk pak kepala
dinas. Tentu saja aku tak mau, enak saja. Salah sendiri berangkatnya telat. Aku
membalas bapak dengan menggelengkan kepala tanda tak mau pindah ke belakang.
Bapakku melotot dan itu tak mempengaruhiku untuk pindah. Untung saja sholat
langsung dimulai hingga tak ada orang lagi yang bisa memaksaku untuk memberikan
tempat di shaf terdepan ini.
Sampai dirumah, bapak mendiamkanku semalaman. Entah
apa sebabnya. Atau mungkin karena kejadian tadi masjid. Entahlah. Bapak memang
seperti itu orangnya. Kalau didiemin ya berarti bapak marah, tinggal tunggu
saja ledakan amarahnya. Mungkin besok, lusa, bisa jadi minggu depan.
Benar saja, esok harinya sehabis sarapan aku ditahan
di ruang tengah tempat kami makan. Bapak memarahiku soal ulahku tadi malam yang
tak mau memberikan shaf pertama untuk pak kepala dinas itu.
“Siapa yang ngajarin kamu jadi ga sopan seperti itu
le, Bapak sebagai orang tua kamu itu malu sama pak lurah dan pak kepala dinas
dengan tingkahmu tadi malam.”
“Lho Pak, salahku apa? Lha wong aku yang datang
duluan masa ya aku yang harus ngalah Pak” jawabku sekenanya.
Bapak makin melotot marah. “Kamu tau siapa itu orang
yang dari kemarin bapak dhereke
kemana-mana itu? Itu kepala dinas le,”
“Luqman tau pak dia kepala dinas, lalu hubungannya
sama sama shaf shalat apa Pak?”
Bapak berdiri dan mendekatiku. “Kita itu harus sopan
sama tamu, yang tua-tua dan dihormati itu shafnya ya didepan. Kamu ini siapa
beraninya ambil shaf didepan. Inget le nasib perkebunan tebu desa ini, yang
jadi lahan pekerjaan hampir semua warga desa ini ditentukan sama dia.”
“Istighfar Pak, yang nentuin nasib itu Gusti Allah,
bukan kepala dinas itu. Apa Allah ngatur yang harus di shaf pertama itu harus
orag-orang terhormat? Luqman buru-buru ke masjid buat dapat shaf pertama. Salah
sendiri pak kepala dinas itu datangnya belakangan.”
Seterusnya aku memilih diam saat Bapak terus memarahiku hingga beberapa saat.
Akan jadi runyam urusan jika terus
kujawab. Bagaimanapun bapak adalah bapakku yang meski banyak dari jalan
pikirannya yang tak kusetujui, tetap harus kuhormati. Memang susah merubah
pikiran orang tua. Sering kali aku berbeda pendapat dengannya.
Ibu sama sekali tak berkomentar atas omelan bapak
padaku. Aku yakin ibu yang sedang masak didapur mendengar dengan jelas. Tapi
ibu sih apa kata bapak saja. Ibuku adalah tipe perempuan yang nurut cenderung
takut pada bapak. Biasanya ibu baru akan bicara padaku saat bapak sudah
benar-benar selesai memarahiku.
Namun berbeda kali ini, setelah bapak selesai marah
kutunggu satu jam, dua jam, tiga jam, ibu masih tak mengajakku bicara seperti
kebiasaannya dahulu. Bapak juga masih mendiamkanku, padahal ini bukan kebiasaan
bapak. Biasanya selepas dimarahi, masalah selesai. Tapi kali ini berbeda
rupanya.
Hingga keesokan harinya ibu tak kunjung membicarakan
hal ini lagi. Aku akhirnya tak bisa
menahan diri untuk bertanya. Apalagi bapak, masih tetap tak mengajakku bicara.
Saat sikap ibu kupertanyakan, beliau hanya menjawab
singkat.
“Ibu setuju sama kamu Le, tapi bapak tidak.”
Aku semakin bingung. Apakah kelakuanku yang menurut
bapak sebuah kesalahan itu fatal sekali
ya hingga bapak semarah itu?
(Anissa Risma)
(Anissa Risma)
0 komentar:
Posting Komentar