Shaf Pertama

by 23.22 0 komentar
Jatah liburan sekolah tersisa satu minggu lagi. Aktivitasku cukup padat liburan ini karena harus membantu ibu menebang dan memotong bambu bakal keranjang anyaman yang akan dijual dipasar. Ibuku adalah seorang pembuat perabotan dari ayaman bambu. Tanganya begitu lihai membuat besek (tempat nasi yang biasa digunakan untuk hajatan), wakul (tempat nasi juga tapi ini digunakan sehari-hari dirumah), eblek (betuknya bulat besar, biasanya digunakan untuk nepleki/ memisahkan beras dari kotoran yang tercampur) hingga kipas (kalian pasti tahu yang ini). Jika ada yang pesan, Ibuku juga siap membuat kepang, semacam tikar lebar dan panjang untuk menjemur padi. Semua perabotan itu dijual di pasar kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari desa. Paling cepat satu jam dengan naik angkutan desa yang hanya ada di jam-jam tertentu, pagi jam setengah  enam, siang jam duabelas dan sore  jam empat, itupun kalau mobilnya tidak rewel.
Ibu kepasar di hari pasaran Pon dan Wage. Hampir setiap hari pasaran itu aku ikut berjualan selepas sekolah. Aku masih kelas 2 SMA, letak sekolahku tak terlalu jauh dengan pasar tempat ibu berjualan. Hanya cukup berjalan 15 menit dari sekolah. Jangan kau kira ibu punya kios, sewa kios mahal katanya. Ibu berjualan cukup dengan payung besar dipinggir jalan. Barang dagangan yang belum laku dititipkan di toko kelontong milik teman ibu semasa sekolah dasar dulu yang berada tak jauh dari tempat ibu jualan.
 Meski harus kepanasan jika matahari terik, atau kena tampias ketika hujan turun, menemani ibu berjualan adalah hal yang kusukai. Adalah Lek Dun, pedagang dawet ayu yang biasa berjualan disebelah ibu. Lek Dun pandai menghibur orang dengan celetukan-celetukannya. Ia juga pandai bercerita. Aku banyak belajar dari cerita-cerita penuh hikmah yang ia sampaikan dengan mengesankan sambil melayani pembeli. Mulai dari cerita sederhana sehari-hari yang entah nyata atau ia bumbui  dan bahkan dibuat-buat sekadar untuk menghibur, hingga cerita sahabat nabi yang dibawakan dengan ringan olehnya.
Seperti kisah Rasulullah yang selepas shalat subuh menanyai sahabat-sahabatnya. Ada tiga pertanyaan. Yang pertama, siapa yang hari itu berpuasa. Maka tampillah Abu Bakar yang menjawab  bahwa beliau puasa. Lalu pertanyaan kedua, siapa yang sudah bersedekah hari ini. Ternyata  hal ini pun sudah dilakukan oleh Abu Bakar saat sahabat lain beralasan hari masih subuh  dan mereka belum sempat bersedekah. Hingga pertanyaan ketiga, yakni siapakah yang sudah menjenguk sahabatnya yang sakit hari ini, maka lagi-lagi Abu Bakar yang sudah melakukannya disela-sela perjalannan menuju masjid. Betapa tak ada yang mengalahkan semangat ibadah Abu Bakar. Bahkan Umar bin Khatab pun mengakui bahwa ia tak pernah bisa mengungguli Abu Bakar menjadi orang pertama yang melakukan kebaikan.
Dari sekian banyak cerita yang kudengar dari Lek Dun, mulai dari cerita bohong hingga cerita nyatanya, cerita inilah yang kugenggam baik-baik dalam benakku.
Aku juga suka memerhatikan sekeliling saat menemani ibu berjualan. Memperhatikan lalu lalang orang belanja atau sekedar jalan-jalan sambil berlagak menawar harga sana sini padahal tak berniat membeli sama sekali. Memperhatikan betapa sibuknya kuli angkut mondar-mandir dan sesekali berebut pelanggan, suara lantang tukang parkir mengarahkan kendaraan, hingga pemasok yang matanya tak bisa tenang melotot kesana kemari dan tentu saja penjual di sepanjang jalan yang tak lelah menawarkan dagangan pada setiap yang lewat hingga kadang sampai menarik pelanggan agar mendekat-kebangetan tuh penjual-  untuk kemudian membahasnya dengan Lek Dun dan tertawa terpingkal-pingkal. Ibu yang melihat tingkah kami hanya bisa geleng-geleng kepala dan sesekali menjewer kupingku yang lebih banyak bercandanya dari pada membantu ibu.
Karena masih libur sekolah, hari ini aku menemani ibu berjualan dipasar sedari pagi. Lebih karena banyak anyaman yang harus dibawa dari rumah jadi aku diajak. Namun entah mengapa hari ini pasar sepi sekali. Lek Dun juga tak jualan. Ibu memutuskan pulang lebih awal dari pasar. Aku sih nurut-nurut saja, pasar sepi lama-lama bikin bosan juga.
Saat masuk desa  samar-samar terdengar riuh rendah pertunjukan tari Jathilan. Hari ini desaku dikunjungi oleh kepala dinas perhutani provinsi yang akan meninjau langsung perkebunan tebu yang berada persis di desa ini. Kedatangannya disambut  antusias oleh warga yang jarang-jarang bertemu pejabat. Mungkin baru pertama kali ini  desaku dikunjungi pejabat sejak puluhan tahun lalu dikunjungi oleh gubernur entah meninjau apa. Kedatangan kepala dinas beserta rombongannya disambut dengan kesenian tradisional Jathilan, sebuah tari kreasi yang diiringi dengan gamelan dan kental akan isu-isu mistik dalam pagelarannya. Rencananya pak kepala dinas akan menginap malam ini di rumah pak lurah. Aku tak tahu persis apa yang dilakukan pak kepala dinas di desa ini. Tak hanya karena tak tertarik, tapi dirumah sudah banyak bambu menunggu untuk dipotong.
Matahari mulai menggantung di kaki langit. Adzan Magrib baru saja berkumandang memecah sunyinya senja di desaku. Otomatis kuhentikan kegiatan memotong bambu sebagai bahan ibuku menganyam keranjang. Aku bergegas ke masjid desa yang berada diujung gang. Sekitar 200 meter dari rumah, tak sampai lima menit aku berjalan kaki menujunya. Sampai di masjid ada Pak Ali, sang takmir masjid dan Mbah Joyo yang biasa menjadi imam shalat serta sekitar tujuh orang lain yang umumnya adalah para tetua di desa. Kebanyakaan jamaah di masjid ini adalah bapak-bapak dan simbah-simbah. Anak muda disini kebanyaakan merantau ke kota, tinggal beberapa pemuda saja yang tinggal disini dan mereka tak biasa ke masjid. Masih terlalu sibuk nongkrong  di perempatan jalan. Aku juga seumuran mereka, tapi sama sekali tak beminat ikut-ikut kegiatan tak jelas itu.
Semua jamaah sudah rapi mengambil posisinya masing-masing dishaf pertama. Melihat masih ada ruang untuk seorang lagi di shaf pertama, langung saja kutempati tanpa pikir panjang. Baru saja aku duduk beberapa orang datang dan memenuhi shaf kedua. Beberapa menit kemudian datanglah kepala dinas beserta dua orang rekannya, pak lurah, dan bapak. Bapak adalah salah satu staf balai desa yang sedari pagi mengikuti kegaiatan kepala dinas. Melihat sang kepala dinas datang, entah mengapa bapak-bapak di shaf kedua bergeser mundur, memberikan tempatnya untuk sang kepala dinas dan rombongan. Kulihat bapak juga mempersilahkan pak kepala dinas untuk kedepan dengan mengacungkan jempol kanannya kearah depan,  keramahan kas orang Jawa.
Melihatku berada di shaf pertama, bapak memberi isyarat untuk mundur dan memberikan tempat yang telah kududuki untuk pak kepala dinas. Tentu saja aku tak mau, enak saja. Salah sendiri berangkatnya telat. Aku membalas bapak dengan menggelengkan kepala tanda tak mau pindah ke belakang. Bapakku melotot dan itu tak mempengaruhiku untuk pindah. Untung saja sholat langsung dimulai hingga tak ada orang lagi yang bisa memaksaku untuk memberikan tempat di shaf terdepan ini.
Sampai dirumah, bapak mendiamkanku semalaman. Entah apa sebabnya. Atau mungkin karena kejadian tadi masjid. Entahlah. Bapak memang seperti itu orangnya. Kalau didiemin ya berarti bapak marah, tinggal tunggu saja ledakan amarahnya. Mungkin besok, lusa, bisa jadi minggu depan.
Benar saja, esok harinya sehabis sarapan aku ditahan di ruang tengah tempat kami makan. Bapak memarahiku soal ulahku tadi malam yang tak mau memberikan shaf pertama untuk pak kepala dinas itu.
“Siapa yang ngajarin kamu jadi ga sopan seperti itu le, Bapak sebagai orang tua kamu itu malu sama pak lurah dan pak kepala dinas dengan tingkahmu tadi malam.”
“Lho Pak, salahku apa? Lha wong aku yang datang duluan masa ya aku yang harus ngalah Pak” jawabku sekenanya.
Bapak makin melotot marah. “Kamu tau siapa itu orang yang dari kemarin bapak dhereke kemana-mana itu? Itu kepala dinas le,”
“Luqman tau pak dia kepala dinas, lalu hubungannya sama sama shaf shalat apa Pak?”
Bapak berdiri dan mendekatiku. “Kita itu harus sopan sama tamu, yang tua-tua dan dihormati itu shafnya ya didepan. Kamu ini siapa beraninya ambil shaf didepan. Inget le nasib perkebunan tebu desa ini, yang jadi lahan pekerjaan hampir semua warga desa ini  ditentukan sama dia.”
“Istighfar Pak, yang nentuin nasib itu Gusti Allah, bukan kepala dinas itu. Apa Allah ngatur yang harus di shaf pertama itu harus orag-orang terhormat? Luqman buru-buru ke masjid buat dapat shaf pertama. Salah sendiri pak kepala dinas itu datangnya belakangan.”
Seterusnya aku memilih diam saat  Bapak terus memarahiku hingga beberapa saat. Akan jadi runyam urusan  jika terus kujawab. Bagaimanapun bapak adalah bapakku yang meski banyak dari jalan pikirannya yang tak kusetujui, tetap harus kuhormati. Memang susah merubah pikiran orang tua. Sering kali aku berbeda pendapat dengannya.
Ibu sama sekali tak berkomentar atas omelan bapak padaku. Aku yakin ibu yang sedang masak didapur mendengar dengan jelas. Tapi ibu sih apa kata bapak saja. Ibuku adalah tipe perempuan yang nurut cenderung takut pada bapak. Biasanya ibu baru akan bicara padaku saat bapak sudah benar-benar selesai memarahiku.
Namun berbeda kali ini, setelah bapak selesai marah kutunggu satu jam, dua jam, tiga jam, ibu masih tak mengajakku bicara seperti kebiasaannya dahulu. Bapak juga masih mendiamkanku, padahal ini bukan kebiasaan bapak. Biasanya selepas dimarahi, masalah selesai. Tapi kali ini berbeda rupanya.
Hingga keesokan harinya ibu tak kunjung membicarakan hal ini lagi.  Aku akhirnya tak bisa menahan diri untuk bertanya. Apalagi bapak, masih tetap tak mengajakku bicara.
Saat sikap ibu kupertanyakan, beliau hanya menjawab singkat.
“Ibu setuju sama kamu Le, tapi bapak tidak.”
Aku semakin bingung. Apakah kelakuanku yang menurut bapak sebuah kesalahan itu  fatal sekali ya hingga bapak semarah itu?

(Anissa Risma)

warnakata

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar