Namaku Seli. Hari itu aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Matahari masih belum memenuhi janjinya pada senja untuk terbit pagi ini. Dadaku sesak. Udara yang kuhirup rasanya tak seperti biasa. Rasanya sama persis saat aku terjebak dalam kebakaran rumah nenek di Bandung setahun lalu. Aku pikir rumahku kebakaran. Spontan loncat dari tempat tidur, berlari keluar menuju kamar ayah bunda. Kosong. Kudengar sayup suara ayah diteras meneriaki bunda. Aku langsung lari kedepan. Langkahku tersandung gagang sapu yang jatuh di lantai. Nyaris terjembab. Kaki kecilku terus bergegas menuju arah suara ayah. Sampai di teras aku mematung. Tak ada api, yang ada hanya asap tebal yang membuat segalanya remang. Ayah dan bunda menghampiri dan membimbingku masuk kedalam rumah lagi. Memberiku beberapa penjelasan yang tak kuperhtikan. Dadaku semakin sesak. Kuhentikan langkah saat melihat jam dinding antik kebanggaan ayah. Jam sembilan pagi.
***
“Bunda
kok gak sembuh-sembuh ya Yah?”
Ayah
menghampiriku, “Sabar dek, bunda sudah positif ISPA”
“Seli
bosen Yah, sudah satu bulan gak kemana-mana, kita ke Bandung aja yuk?”Kataku sambil
mencomot kue nastar dimeja.
Belum
sempat ayah menanggapi permintaanku, telepon berdering. Entah apa yang
dibicarakan ayah di telepon. Sepertinya masalah kantor. Setelah sedikit
berdebat dengan seseorang disana telepon ditutup, lalu tanpa sempat menjelaskan
banyak ayah bergegas pergi setelah sebelumnya pamit bunda. Ada urusan kantor
yang penting, begitu katanya. Ayah memang begitu, selalu sibuk, sesibuk asap
ini mengepung kota kami.
Bunda
masih terbaring ditempat tidurnya. Sudah seminggu belakangan bunda sakit. ISPA,
penyakit paling umum yang nyaris dialami oleh semua penduduk kota kami. Aku
juga sempat sakit minggu lalu, beruntung sembuh setelah tiga hari rawat inap
dirumahsakit. Asap memang menjadi bencana tahunan dikota kami, tapi kali ini
sepertinya yang paling parah. Kata ayah akibat ulah nakal pengusaha kelapa
sawit dalam membuka hutan. Aku tak juga paham hingga kini, kenapa orang-orang
itu rajin sekali menanam kelapa sawit. Guruku bilang kelapa sawit adalah bahan
pembuat sabun, minyak goreng, dan juga margarin. Sebanyak apakah kebutuhan
orang-orang pada sabun, minyak goreng dan margarin hingga perkebunan kelapa
sawit terus ditambah? Saat sabun mandiku habis, dengan mudahnya kubeli di toko
depan rumah. Tak pernah sekalipun penjual bilang stok sabun mandi habis. Bunda
bisa beli minyak goreng sama margarin kapanpun. Berbagai merek tersedia sampai
bingung milihnya. Tak pernah langka.
Tapi kenapa itu pohon kelapa sawit terus saja ditambah? Entahlah, umurku
8 tahun. Aku tak mengerti.
Aku
kembali kekamar. Meraih biola dan memainkannya. Kali ini lebih enak, ayah sudah
memasang filter asap dirumah. Jadi tak terlalu menyesakkan lagi meski bau asap
sedikit-sedikit masih terasa. Aku mulai latihan biola. Oh iya, dua minggu lagi
aku akan ikut resital biola di Jakarta. Event terbesar bagiku selama aku main
biola. Entah bagaimana aku bisa ikut resital ini. Guru les biola ku yang
mengurus semuanya. Katanya dia mengirim video ku saat latihan ditempat les pada
kenalannya yang seorang pemain biola terkenal itu. Kebetulan ia akan menggelar
resital biola dan tertarik mengajakku sepanggung dengannya. Aku sangat menantikan acara itu. Latihan
setiap hari dengan guru lesku. Seharusnya aku latihan di tempat les, tapi sejak
asap mengepung kota kami, aku hanya seminggu sekali ke tempat les. Selebihnya,
guru lesku yang datang kerumah 3 kali seminggu. Malah sejak aku sakit minggu
lalu guru lesku memutuskan datang tiap hari kerumah dan aku tak perlu ketempat
les.
Ayah
Bunda tak kalah senangnya mendengar hal ini. Bunda menemaniku latihan setiap
hari, ayah juga jika sedang dirumah. Hanya satu yang bikin bunda khawatir saat
aku harus menempuh perjalanan jauh saat situasi seperti ini. Bayangkan saja.
Aku sama sekali tak pernah keluar rumah kecuali untuk ke tempat les seminggu
sekali. Sekolah libur sejak sebulan yang lalu. Bahkan sejak sakit aku sama
sekali tak pernah keluar rumah. Ayah bunda melarang keras. Makanya guru lesku
yang disuruh datang. Katanya daya tahan tubuh anak itu belum terlalu kuat
menahan dampak asap. Padahal enggak gitu juga deh, buktinya bunda sakitnya
lebih lama dari aku.
Hari
ini aku latihan sendiri, guru lesku tak bisa hadir karena ada urusan lain. Aku akan
memainkan tiga lagu nanti. Satu lagu sendiri dan dua lagu dengan Om Richard,
pemain biola terkeal itu. Aku bahkan belum pernah bertemu langsung dengannya.
Hanya pernah beberapa kali lewat skype. Dia menanyakan bagaimana persiapanku
dan kutunjukan latihanku padanya. Om Ricahard kayaknya baik. Orang bule asli
Australia itu lancar menggunakan bahasa Indonesia. Sudah tiga tahun tinggal di
Jakarta katanya. Dua hari sebelum acara
aku harus sampai di Jakarta. Aku akan naik kapal ke Jakarta. Tak ada pilihan
lain, pesawat tak bisa terbang dengan
asap sepekat itu.
Kumainkan
lagu pertama beberapa kali lalu lanjut lagu kedua dan ketiga Tepat selesai lagu
ketiga, kudengar derit pintu depan dibuka. Itu pasti ayah.
“Lagi
dong, sudah berapa kali ya ayah melewatkan latihan biolamu?” Ayah menghampiriku
dengan sekotak pizza ditangannya.
Aku
langsung merebut kotak pizza itu. Tak butuh waktu lama, pizza penuh keju dan
daging sapi itu masuk ke mulutku.
“Ayah
sibuk mulu sih,” sambil mengunyah pizza.
Ayah
hanya tersenyum mengacak rambutku, “Maaf ya, ayo dong main lagi”
Kucomot
lagi potongan pizza dipangkuanku “Bentar yah, Seli kan laper.”
Mau
tak mau kumainkan lagi lagu pertama untuk Ayah. Dan lagu kedua juga. Terus lanjut
lagu ketiga yang membuat ayah berseru takjub.
“Anak ayah keren sekaliiii!” Tepuk tangan ayah riuh bikin brisik kamarku.
“Anak ayah keren sekaliiii!” Tepuk tangan ayah riuh bikin brisik kamarku.
Tiba-tiba
seseorang masuk.
Aku
berseru, “Bundaa!”
“Kok
sudah jalan-jalan Bun, sudah enakan?” Ayah membimbing bunda masuk.
“Abis
kalian ribut sih, bunda penasaran pada ngapain. Ternyata lagi makan pizza. Bagus
ya bunda nggak dikasih.” Bibir bunda dimanyun-manyunkan.
Kami
semua tertawa. Hei, aku selalu suka suasana ini. Saat ayah bunda dirumah dan
kita berkumpul bersama. Sayang, asap diluar masih pekat.
***
Biola
tak pernah jauh dariku sejak kelas satu SD. Berawal dari ketidaksengajaan tante
meninggalkan biolanya dirumahku saat menghabiskan liburan kuliahnya disini. Aku
iseng saja membuka dan menggeseknya. Aku tahu alat musik ini, pernah kulihat
dimainkan di mall saat diajak bunda belanja. Tante juga pernah sekali main
biola dirumah ini yang waktu itu tak kupedulikan karena asyik dengan barbie
kesayangan. Meski tak bisa memainkannya, aku terus saja menggeseknya hingga
ayah ribut bilang suaranya ga enak dan bikin ngilu. Aku cuek saja. Bundalah yang
akhirnya memasukkan ku ke tempat les biola tepat di hari ulang tahunku setelah
sebelumnya memberiku biola sebagai hadiah ulang tahun. Aku senang sekali karena
dengan begini aku bisa punya alasan untuk tidak melulu belajar dan mengerjakan
PR apalagi pelajaran matematika yang susahnya minta ampun.
Disini
aku bertemu dengan Kak Olin. Dia pemain biola handal yang pernah kutemui.
Tanteku sih lewat sama Kak Olin. Orangnya asyik sekali. Bisa banget bikin
ketawa sepanjang latihan dengan humornya. Kak Olin juga yang membantuku
merangkai mimpi menjadi pemain biola handal. Saking asyiknya di tempat les, aku
sering lebih betah disini dari pada
dirumah hingga bunda kadang marah-marah aku pulang telat.
Seminggu
sebelum hari-H. Berarti empat hari menjelang keberangkatanku ke ke Jakarta. Aku
sakit lagi. Dadaku sesak bukan main. Batuk ringan yang sejak kemarin mengganggu
kini semakin parah. Tenggorokanku sakit. Ayah bunda begitu khawatir dengan
kondisiku juga Kak Olin. Hari ini aku dibawa ke rumah sakit. Dokter
mengharuskanku rawat inap hingga waktu yang belum ditentukan. Positif
ISPA. Aku menangis sejadinya, tak mau
dirawat dirumahsakit. Ayah mentapku dalam diam. Tatapan yang mengharuskan aku
untuk tak menolak dirawat.
“Bun
aku mau ke Jakarta” bisikku disela-sela tangis.
Bunda
memeluku, “Ke Jakartanya kan masih minggu depan Sayang, nginep disini dulu ya
biar cepet sembuh terus kita ke Jakarta.“
Akhirnya
aku menurut. Kak Olin datang ke rumah sakit beberapa jam kemudian. Berbicara
serius dengan Ayah. Mungkin membicarakan resital biolaku. Sunguh, aku tetap
ingin ke Jakarta apapun kondisinya. Ini mimpiku, mana mungkin aku lepas begitu
saja saat tinggal selangkah lagi mewujudkannya.
“Hei
Seli, pasti sudah baikan dong, besok kan mau ke Jakarta. Diminum obatnya, makan
yang banyak biar cepet keluar dari sini ya. Kak Olin sudah beli tiket ke
Jakarta tuh, kan sayang kalo nggak kepake.” Kak Olin nyerocos begitu mendekati
tempat tidurku.
Aku
tertawa, “Jadilah Kak, pokoknya apapun yang terjadi aku tetap harus ikut
resital biola itu.”
“Tapi
kata Om Richard kamu harus sembuh dulu kalau mau ikutan resital,” Kak Olin
bersedekap sok serius.
“Yaah
kok bilang-bilang Om Richard sih kalo aku sakit. Jadi ribet kan urusan, pake
syarat-syarat segala.” Aku manyun.
Aku
bertekad sembuh sejak detik itu. Aku makan banyak meski sebenarnya tak nafsu.
Obatpun aku minum tanpa banyak alasan seperti biasanya. Untung aku adalah anak
yang bisa dengan mudah menelan tablet-tablet itu. Setiap dokter atau suster
datang ke kamar aku hanya bertanya apakah aku sudah sembuh. Dokter dan suster
selalu tersenyum dan bilang keadaan ku membaik.
Namun
berbeda kali ini. Malam keduaku di rumahsakit. Aku susah bernafas. Badanku
menggigil, sepertinya demam juga. Bunda panik. Kebetulan ayah tak menungguiku
malam ini, ada urusan kantor. Dokter langsung datang ke kamar. Aku diberi
oksigen hingga nafasku normal seperti biasa. Dokter mengajak Bunda bicara
diluar. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya takut dokter tak
mengijinkanku ke Jakarta dua hari lagi.
Esok
harinya Bunda menasehatiku. Benar saja,
kata dokter aku sangat beresiko untuk perjalanan jauh. Terlebih asap masih
pekat dikota kami. Aku menangis sejadinya. Aku tak tahu resiko apa, aku tak
peduli. Aku hanya ingin ikut resital biola. Itu saja. Lima menit kemudian
dokter datang.
“Dok,
apa yang harus Seli lakukan untuk bisa sembuh dalam dua hari? Apapun dok akan
Seli lakukan, Seli mau makan sebanyak apapun, mau juga minum obat sepahit
apapun. Kalau Seli mau disuntik juga Seli mau. Atau Seli harus dioperasi dok? Nggak
papa Seli mau. Nanti biar ayah bayar semuanya dok,”
Aku
menatap bunda,“Bun Seli nggak papa kok nggak dikasih uang jajan untuk ganti
bayar biaya operasi. Sungguh Bun, asal Seli bisa resital biola.” Seketika
tangisku meledak. Bunda hanya terdiam dan kulihat menyeka air matanya.
“Nggak
Seli, kamu tak perlu dioperasi. Cukup kamu makan dan minum obat seperti biasa
dan yang paling penting kamu harus semangat buat sembuh. Jangan lupa berdoa
juga Sayang.” Dokter menyeka air mataku.
***
Besok
adalah jadwal keberangkatanku ke Jakarta. Tapi sore ini aku masih dirumahsakit.
Dokter masih belum membolehkanku pulang. Ayah menasehatiku untuk tak memaksakan
diri. Kak Olin juga akan menghubungi Om Richard kalau aku tak bisa.
“Pokoknya
Seli mau ikut resital biola itu! Biar Seli berangkat sendiri saja kalau Ayah
sama Kak Olin nggak mau nganterin. Seli harus tetap ke Jakarta!” Aku berseru
hingga terbatuk.
Bunda
diam saja, hanya bergegas memberiku minum kemudian mengajak ayah dan Kak Olin
keluar kamar. Bunda pasti mengerti. Semalaman aku menangis ditemani bunda.
Beberapa saat kemudian Kak Olin masuk ke kamar. Kak Olin berusaha menghibur
dengan candaannya. Aku diam saja. Baru kali ini candaan Kak Olin sama sekali
nggak lucu.
Hingga
malam hari aku masih di rumah sakit. Kata Bunda, dokter menyuruhku menunggu
sampai besok. Aku menangis lagi didepan ayah, bunda, juga Kak Olin. Bunda
memelukku. Semuanya diam.
***
Keesokan
harinya aku dibolehkan pulang. Tapi keberangkatanku ke Jakarta ditunda jadi dua
hari sebelum resital biola itu digelar. Pulang dari rumah sakit aku sama sekali
tak beranjak dari tempat tidur kecuali untuk buang air. Bunda sibuk menyiapkan
barang-barang yang akan dibawa besok.
Aku
berangkat pagi-pagi sekali. Matahari baru saja menampakkan diri ketika aku
keluar rumah bersama ayah dan bunda. Didepan Kak Olin sudah menunggu di dalam
taksi. Dua puluh menit perjalanan ke pelabuhan. Tubuhku sudah jauh lebih
bersahabat sekarang. Sudah tidak demam lagi meski batuknya masih ada
sedikit. Masker yang kukenakan ternyata
cukup ampuh melindungi dari asap. Aku bisa bernafas seperti biasanya.
Perajalanan
dengan kapal pun lancar. Sampai Jakarta aku dijemput langsung oleh Om Richard
dan supirnya. Aku berseru riang. Jakarta keren sekali ya. Baru kali ini aku ke
kota ini. Ternyata sama seperti yang kulihat di televisi. Gedung-gedung megah,
mall-mall besar, hotel-hotel mewah. Dikotaku ada sih, tapi tak sekeren ini.
Aku
langsung ke hotel. Malam harinya aku latihan sebentar di tempat resital
digelar. Wuiiih panggungnya megah sekali. Lampu sorot dimana-mana, mungkin
ratusan. Kursi penonton banyak sekali, berarti besok akan ada banyak yang
nonton. Sudah ada banyak orang menyiapkan acara disini. Aku latihan menggesek
biolaku bersama Om Richard, dia tersenyum puas melihatku bermain. Syukurlah.
***
Akhirnya
hari yang kutunggu tiba juga. Aku memakai baju terbaikku yang khusus dirancang
untuk acar ini. Kak Olin mengingatkanku beberapa hal sebelum aku naik panggung
beberapa saat lagi.
Sekarang
OM Richard sedang tampil sendiri. Sungguh keren sekali, hingga kulihat beberapa
penonton menitikkan air mata. Selesai dengan lagu itu, namaku dipanggil. Aku
naik panggung diiringi tepuk tangan penonton. Aku memainkan lagu pertamaku.
Sendiri. Diakhiri tepuk tangan meriah penonton diakhir lagu itu.
Lagu
kedua adalah kolaborasiku dengan Om Richard. Gedung itu terasa bergetar oleh
tepuk tangan penonton menikmati kolaborasi kami. Sebenarnya dadaku sudah agak
nggak enak sejak lagu kedua ini dimuali. Tapi aku berusaha fokus. Namun diakhir
lagu, aku sudah mulai nggak fokus. Aku tak menggesek biolaku saat tiba
giliranku. Jadilah bagianku diambil alih oleh Om Richard. Setelah lagu itu
selesai dan kami membungkuk memberi penghormatan pada penonton, aku langsung
balik badan dan berlari kebelakang panggung. Padahal tak seharusnya kulakukan
itu, masih ada satu lagu lagi yang harus kumainkan. Om Richard pasti bingung
didepan sana. Tapi kurasa ini pilihan terbaik.
Sampai
dibelakang panggung aku tersungkur dilantai. Dadaku semakin sesak. Aku sulit
bernafas. Badanku gemetar. Bunda panik mendekatiku, meletakkan kepalaku
dipangkuannya. Kudengar langkah ayah juga Kak Olin mendekat. Mereka mengajakku
bicara, tapi aku tak mendengarnya. Pandanganku juga mulai kabur. Bunda menggoncankan
tubuhku. Aku berusaha untuk melihat dan mendengar mereka tapi tak bisa. Hanya
satu kata yang keluar dari mulutku saat itu. “Bunda..” Aku kehilangan
kesadaran. Sepertinya nafasku habis.
0 komentar:
Posting Komentar